Pages

Subscribe:

Labels

Sabtu, 30 Maret 2013

ETIKA ISLAM DI ERA ILMU


Islam sebagai agama pembawa kebenaran dan rahmatan lil ‘alamin, salah satu fungsinya adalah menyelesaikan berbagai problematika di dalam masyarakat. Sebab islam adalah satu-satunya agama wahyu, otentik dan sudah final, tidak memerlukan perkembangan dari pada siapapun. Selama berabad-abad  lamanya islam memimpin dunia dan menjadi solusi umat. Sebuah ketimpangan yang parah sekalipun, yang manusia tidak mampu menyelesaikannya maka hanya islamlah jalan keluarnya.
Salah satu yang menjadi kajian dalam perbincangan ilmu kontemporer adalah sains alam yang dimaksud dengan sains barat modern yang dalam istilah Al-Attas disebut sebagai ilmu pengetahuan kontemporer (present-day knowledge), bukan sains alam yang pernah dikembangkan oleh ilmuwan muslim di abad pertengahan, juga tidak termasuk di dalamnya sains sosial ( social sciences) maupun ilmu-ilmu humaniora dan ilmu agama seperti turats.
Pengertian ilmu menurut ilmuwan muslim tentu berbda dengan yang dipaparkan para ilmuan lainnya, salah saru pendapat yang berkembang adalah pendapat ibnu taimiyah. Ia mendefinisikan ilmu sebagai sebuah pengetahuan yang berdasar pada dalil (bukti). Dalil yang dimaksud bisa berupa penukilan wahyu dengan metode yang benar (al-naql al-mushaddaq), bisa juga yang berupa penelitian ilmiah (al-bahts al-muhaqqaq). Dari sini jelas bahwa dalam islam wahyu merupakan sumber ilmu. Sedangkan dalam pandangan barat, wahyu tidak termasuk ilmu karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Disinilah salah satu perbedaan yang menyolok antara definisi ilmu dalam islam dengan ilmu dalam pandangan barat.
Namun dari penjelasan tentang perbedaan konsep ilmu di dalam islam dengan konsep ilmu di dunia barat terdapat pula persamaan. Yaitu sama-sama menyatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang sistematis. Walaupun kemudian ilmu didunia barat mulai mensyaratkan bahwa ilmu yang sistematis itu harus muncul dari observasi atau pengamatan yang biasanya bersifat indrawi.
Dapat disimpulkan ilmu dalam pandangan islam berbeda dengan sains dalam pandangan barat. Dalam pandangan islam ilmu mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sains dalam istilah pandangan barat.  Sains membatasi dirinya pada hall-hal yang bersifat fisik. Sedangkan ilmu dalam pandangan islam masih tetap meliputi tidak hanya fisik tetapi juga metafisika.
Oleh karena itu islamisasi sains/ ilmu merupakan salah satu cara islam dalam menyikapi sekulerisasi ilmu yang menimbulkan permasalahan di dunia islam dan kamu muslimin pada umumnya. Bahwa ilmu itu tidak netral dan tidak bebas nilai (value free). Ilmu terikat dengan nilai-nilai tertentu (value laden) yang berupa paradigma, ideologi atau pemahaman seseorang.
Al-Attas dalam ide islamisasinya hanya membatasi pada ilmu-ilmu kointemporer yang difak termasuk pada ilmu-ilmu islam yang  berdasarkan al-quran dan sunnah yang dibangun oleh para intelektual islam zaman dahulu. Dan hal ini sedikit lebih memfokuskan diri dalam masalah sains yaitu sains yang bermafaat, sebagaimana yang dikatakan rosulullah dalam sebuah haditsnya:
سلوا الله علما نافعا . وتعوذوا بالله من علم لا ينفع   )ابن ماجه )
Ilmu yang bermanfaat inilah yang sejalan dengan ajaran islam. Ilmu yang dikembangkan tanpa menghiraukan tuhan dan yang para pendukungnya menilak tuhan atas nama ilmum, ia perlu diwaspadai.
Menurut mulyadhi, ilmu astronomi yang tidak lagi menganggap perlu mangaitkan alam dengan tuhan karena tuhan tidak riil dan diambil dalam penjelasan ilmiah hanya sebagai hipotesis-seperti yang dinyatakan laplace-jelas bertentangan dengan agama. Jadi, tidak semua ilmu bersifat prinsip yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. llmu yang seperti itu jelas bertentangan dengan agama dan harus disikapi dengan kritis. Namun ilmu-ilmu yang menjelaskan fenomena alam sebagai tanda-tanda kebesaran tuhan yang bisa dilihat bagaimana sifat-sifat tuhan, seperti kebijaksanaan, keagungan dan kemahapintaran dikelaskan dengan indah dan benar, jelas ilmu seperti itu bukan hanya tidak bertentangan dengan agama melainkan harus dipandang mulia bahkan sakral. Kita tidak bisa menyatakan bahwa ilmu tidak bertentangan dengan agama.  
Istilah islamisasi ilmu banyak didefinisikan oleh para ilmuwan, diantaranya Md Golam Mohiuddun asisten Professor Department of Management Islamic University. Kushtia bangladesh menyatakan “makna dari islamisasi ilmu pengetahuan adalah membebaskan aspek-aspek umum dari ilmu pengetahuan ,yang berhubungan dengan bentuk kehidupan praktis, rasa ketidakpercayaan, keragu-raguan, dan rasa pesimistik, kemudian merestrukturisasikannya melalui analisa-analisa dan penjelasan dalam kalimat Allah dan hadits Rasulullah.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Dalam pandangan Al-Attas westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan skertisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ilmiah. Bukan hanya itu, westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguansebagai alat epistemologi yang salah dalam keilmuan. Westernisasi ilmu tidak dibangun diatas wahtu dan kepercayaan agama. Namun dibangun diatas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai mahluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia. Wahyu merupakan dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dan sudut pandang rasionalisme dan empirisme.
Tanpa wahyu, ilmu sains dianggap satu-satunya pengetahuan yang otentik (science is the role authentic knowledge). Kosong dari wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya terkait dengan fenomena. Akibatnya kesimpulan kepada fenomena akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tanpa wahyu, realitas yang dipahami hanya terbatas kepada alam nyata ini yang dianggap satu-satunya realitas.

Ismail Raji Al-Faruqi
Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Faruqi adalah solusi terhadap dualisme sistem pendidikan kaum muslimin saat ini. Baginya, dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan dan disatukan dengan paradigma islam. Untuk semata-mata memenuhi kebutuhan ekonomis dan pragmatis  pelajar untuk ilmu pengetahuan profesional, kemajuan pribadi atas pencapaian materi. Namun paradigma tersebut harus diisi dengan sebuah misi yang tidak lain adalah menanamkan menancapkan serta merealisasikan visi islam dalam ruang dan waktu.

Jafar Syeikh Idris
Dalam karyanya the process of islamization mengatakan bahwa islamisasi sebagai program sosial-politik. Tujuan pergerakan islam adalah menghasilkan suatu masyarakat baru disuatu tempat didunia ini yang sepenuhnya bertanggung jawab menjalankan seluruh ajaran islam dan berusaha mematuhi ajaran-ajaran itu dalam pemerintahan, politik, ekonomi, organisasi sosial hubungannya dengan negara-negara lain, sistem pendidikan dan nilai-nilai moralnya, dan lain-lain dari semua aspek jalan hidupnya (way of life).

Ziauddin Sardar
Secara lugas dan sistematis, Sardar mengemukakan empat argumen tentang perlunya ilmu pengetahuan islami. Pertama, bahwa dalam sejarah setiap peradaban besar menciptakan sistem ilmu pengetahuannya yang berbeda-beda; kedua, peradaban islam pun dalam sejarahnya mengembangkan sistem ilmu pengetahuan yang unik; ketiga, ilmu pengetahuan barat bersifat destruktif terhadap umat manusia, hingga ke akar-akarnya; keempat, ilmu pengetahuan barat tak dapat memenuhi kebutuhan material, kultural, dan spiritual masyarakat muslim. Dari titik inilah ziauddin Sardar menawarkan alternatif islam.
Setelah menggali ide-ide tentang islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer yang berkembang hingga saat ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar berpendapat bahwa ilmu pengetahuan modernlah yang harus diislamkan. Ilmu pengetahuan modern yang dimaksud adalah sains barat yang sekarang ini berkembang dan selanjutnya disebut sains. Proses islamisasi yang diteliti pada bagian ini pun menggunakan istilah islamisasi sains, yaitu sebuah perubahan pengkhususan materi dari islamisasi ilmu pengetahuan pada umumnya.

LIMA PENDEKATAN UTAMA DALAM ISLAMISASI SAINS BARAT MODERN
Apabila dipahami secara mendalam, dari berbagai ide islamisasi sains yang berkembang saat ini, paling tidak ada 5 konsep yang dapat didekati. Kelima konsep tersebut senantiasa berkembang dan mempunyai pengikut yaitu pendekatan intrumentalistik, justifikasi, sakralisasi, integrasi dan paradigma.

1.                  Instrumentalistik
Konsep islamisasi sains dengan pendekantan instrumentalistik merupakan sebuah konsep yang menganggap ilmu atau sains sebagai alat (instrumen). Bagi mereka yang berpandangan bahwa sains, terutama teknologi adalah sekadar alat untuk mencapai tujuan, tidak memperdulikan sifat dari sains itu sendiri, yang terpenting sains tersebut bisa membuahkan tujuan bagi pemakainya.
Bagi Al-Afghani bahwa islam menganjurkan pengembangan pemikiran rasional dan mengecam sikap taklid. Dalam hal ini yang dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu pengetahuan tetapi juga pengembangan filsafat islam yangtelah lama mandek. Seperti Al-Afghani, Abduh tidak melihat adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dan al-quran. Jika hal itu terjadi, maka berarti penafsiran atas al-quran itulah yang mesti dipertanyakan. Dalam beberapa hal ridha tidak tampak lebih moderat dari abduh. Jika seruan keras abduh untuk berijtihad –untuk menafsirkan kembali islam agar memiliki vitalitas baru-dapat diartikan sebagai adopsi total model barat untuk ilmu pengetuahuan, maka dibuatnya suatu kriteria pembaruan islam untuk menyeleksi bagian-bagianyang diadopsi.
Konsep ini memberikan kesadaran bagi umat untuk bangkit melawan ketertinggalan. Konsep ini sangat tepat untuk memulai menyadari bahwa ketertinggalan.

2.                  JUSTIFIKASI
Justifikasi adalah penemuan ilmiah modern, terutama di bidang ilmu-ilmu alam diberikan justifikasi (pembenaran) melalui ayat al-quran maupun al-hadits. Terbukti dengan senantiasa terbit buku-buku yang mengupas penemuan ilmiah dikaitkan dengan aya-ayat al-quran maupun hadits. Di antara yang menolak islamisasi sains ini menyatakan bahwa islamisasi bukan ayatisasi. Bagi kalangan buccalilisme perkembangan sains dan teknologi di abad 20 ini sebenarnya sangat menguntungkan umat islam. Sebab, apa yang ditemukan oleh para pakar tersebut, yang rata-rata bukan beragama islam, selaras dengan apa yang tertera di dalam alquran. Sementara, kepercayaan mereka (ilmuwan kristen) terhadap bible makin menipis karena banyak berselisihnya temuan sains dengan apa yang tercantum dalam kitab suci mereka.
Namun demikian, ide islamisasi sains dengan konsep justifikasi ini menuai banyak kritik. Diantara kritik tersebut datang dari ilmuwan yang bergerak di bidang islamisasi sains pula yaitu ziauddin Sardar. Baginya al-quran tidak membutuhkan validitas seperti itu karana al-quran adalah abadi bagi kaum muslimin.

3.                  SAKRALISASI
Artinya, sains modern yang sekarang ini bersifat sekuler dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas, diarahkan menuju sains mempunyai nilai sakral. Ide ini dikemukakan oleh seyyed hossein nasr. Nasr kemudian mengemukakan idenya tentang sains sakral yang membahas tentang kebenaran pada tiap tradisi, konsep manusia dan konsep intelek dan rasio. Dalam sains sakral, iman tidak terpisah dari ilmu dan intelek tidak terpisah dari iman. Ilmu pengetahuan pada akhirnya terkait dengan intelak ilahi dan bermula dari segala yang sakral. Namun sakralisasi ini akan tepat sebagai konsep islamisasi jika nilai dan unsur kesakralan yang dimaksud di sana adalah nilai-nilai islam.

4.                  INTEGRASI
Yaitu mengintegrasikan sains barat dengan ilmu-ilmu islam. Ide ini diketengahkan oleh Ismail R. Alfaruqi. Menurutnya akar dari kemunduran umat islam dalam berbagai dimensi karena dualisme sistem pendidikan. Dalam pandangannya mengatasi dualisme sistem pendidikan inilah yang merupakan tugas terbesar kaum muslimin pada  abad ke-15 H. Pada satu sisi, sistem pendidikan islam mengalami penyempitan dalam pemaknaanya dalam berbagai dimensi, sedangkan pada sisi yang lain, pendidikan sekular sangat mewarnai pemikiran kaum muslimin.

5.                  PARADIGMA
Konsep islamisasi sains yang dirasakan paling mendasar dan menyentuh akar permasalahan sains adalah konsep dengan pendekatan yang berlandaskan paradigma sains. Ide islamisasi sains seperti ini yang disampaikan pertama kali secara sistematis oleh Al-Attas. bahkan secara khusus ia menyebut permasalahan islamisasi adalah permasalah mendasar yang bersifat epistemologis. Al-Attas menyerukan suatu konsep ilmu yang berdasarkan pada wahyu karena merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan mahluk ciptaan dan pencipta.
Ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern; beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika; penafsiran historis ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, hubung kaitnya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
Proses islamisasi sains itu sendiri menurut Al-Attas dilakukan dengan dua cara yang paling berhubungan dan sesuai turutan, yaitu pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban barat, dan kedua memasukan elemen-elemen islam dalam konsep kunci kedalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Jelasnya “ ilmu hendaknya di diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep pokok dikeluarkan dari setiap ranting. Ia pun mendukung metode tauhid dimana terdapat kesatuan dalam kaidah empiris, rasional, deduktif dan induktif. Dengan demikian konsep islamisasi sains secara paradigma ini akan berakar kuat dan sesuai dengan jiwa islam. Umat akan terbebas dari penyakit yang selama ini menghinggapi pikiran mereka akibat kesalahan memahami konsep ilmu. Dan umat akan membangun kembali superioritas mereka di bidang ilmu sebagaimana dilakukan oleh umat islam terdahulu seperti Ibnu Sina, Albiruni, Ibn Haytsam, Fakhruddin Arrazi, dan sebagainya.

0 komentar: