Islam
sebagai agama pembawa kebenaran dan rahmatan lil ‘alamin, salah satu fungsinya
adalah menyelesaikan berbagai problematika di dalam masyarakat. Sebab islam adalah
satu-satunya agama wahyu, otentik dan sudah final, tidak memerlukan
perkembangan dari pada siapapun. Selama berabad-abad lamanya islam memimpin dunia dan menjadi
solusi umat. Sebuah ketimpangan yang parah sekalipun, yang manusia tidak mampu
menyelesaikannya maka hanya islamlah jalan keluarnya.
Salah
satu yang menjadi kajian dalam perbincangan ilmu kontemporer adalah sains alam
yang dimaksud dengan sains barat modern yang dalam istilah Al-Attas disebut
sebagai ilmu pengetahuan kontemporer (present-day knowledge), bukan sains alam
yang pernah dikembangkan oleh ilmuwan muslim di abad pertengahan, juga tidak
termasuk di dalamnya sains sosial ( social sciences) maupun ilmu-ilmu humaniora
dan ilmu agama seperti turats.
Pengertian
ilmu menurut ilmuwan muslim tentu berbda dengan yang dipaparkan para ilmuan
lainnya, salah saru pendapat yang berkembang adalah pendapat ibnu taimiyah. Ia
mendefinisikan ilmu sebagai sebuah pengetahuan yang berdasar pada dalil
(bukti). Dalil yang dimaksud bisa berupa penukilan wahyu dengan metode yang
benar (al-naql al-mushaddaq), bisa juga yang berupa penelitian ilmiah (al-bahts
al-muhaqqaq). Dari sini jelas bahwa dalam islam wahyu merupakan sumber
ilmu. Sedangkan dalam pandangan barat, wahyu tidak termasuk ilmu karena tidak
dapat dibuktikan kebenarannya. Disinilah salah satu perbedaan yang menyolok
antara definisi ilmu dalam islam dengan ilmu dalam pandangan barat.
Namun
dari penjelasan tentang perbedaan konsep ilmu di dalam islam dengan konsep ilmu
di dunia barat terdapat pula persamaan. Yaitu sama-sama menyatakan bahwa ilmu
adalah pengetahuan yang sistematis. Walaupun kemudian ilmu didunia barat mulai
mensyaratkan bahwa ilmu yang sistematis itu harus muncul dari observasi atau
pengamatan yang biasanya bersifat indrawi.
Dapat
disimpulkan ilmu dalam pandangan islam berbeda dengan sains dalam pandangan
barat. Dalam pandangan islam ilmu mempunyai ruang lingkup yang lebih luas
daripada sains dalam istilah pandangan barat. Sains membatasi dirinya pada hall-hal yang
bersifat fisik. Sedangkan ilmu dalam pandangan islam masih tetap meliputi tidak
hanya fisik tetapi juga metafisika.
Oleh
karena itu islamisasi sains/ ilmu merupakan salah satu cara islam dalam
menyikapi sekulerisasi ilmu yang menimbulkan permasalahan di dunia islam dan
kamu muslimin pada umumnya. Bahwa ilmu itu tidak netral dan tidak bebas nilai
(value free). Ilmu terikat dengan nilai-nilai tertentu (value laden)
yang berupa paradigma, ideologi atau pemahaman seseorang.
Al-Attas
dalam ide islamisasinya hanya membatasi pada ilmu-ilmu kointemporer yang difak
termasuk pada ilmu-ilmu islam yang
berdasarkan al-quran dan sunnah yang dibangun oleh para intelektual
islam zaman dahulu. Dan hal ini sedikit lebih memfokuskan diri dalam masalah
sains yaitu sains yang bermafaat, sebagaimana yang dikatakan rosulullah dalam
sebuah haditsnya:
سلوا الله علما نافعا . وتعوذوا بالله من علم لا ينفع )ابن ماجه )
Ilmu
yang bermanfaat inilah yang sejalan dengan ajaran islam. Ilmu yang dikembangkan
tanpa menghiraukan tuhan dan yang para pendukungnya menilak tuhan atas nama
ilmum, ia perlu diwaspadai.
Menurut
mulyadhi, ilmu astronomi yang tidak lagi menganggap perlu mangaitkan alam
dengan tuhan karena tuhan tidak riil dan diambil dalam penjelasan ilmiah hanya
sebagai hipotesis-seperti yang dinyatakan laplace-jelas bertentangan dengan
agama. Jadi, tidak semua ilmu bersifat prinsip yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip agama. llmu yang seperti itu jelas bertentangan dengan agama
dan harus disikapi dengan kritis. Namun ilmu-ilmu yang menjelaskan fenomena
alam sebagai tanda-tanda kebesaran tuhan yang bisa dilihat bagaimana
sifat-sifat tuhan, seperti kebijaksanaan, keagungan dan kemahapintaran
dikelaskan dengan indah dan benar, jelas ilmu seperti itu bukan hanya tidak
bertentangan dengan agama melainkan harus dipandang mulia bahkan sakral. Kita
tidak bisa menyatakan bahwa ilmu tidak bertentangan dengan agama.
Istilah
islamisasi ilmu banyak didefinisikan oleh para ilmuwan, diantaranya Md Golam
Mohiuddun asisten Professor Department of Management Islamic University.
Kushtia bangladesh menyatakan “makna dari islamisasi ilmu pengetahuan adalah
membebaskan aspek-aspek umum dari ilmu pengetahuan ,yang berhubungan dengan
bentuk kehidupan praktis, rasa ketidakpercayaan, keragu-raguan, dan rasa
pesimistik, kemudian merestrukturisasikannya melalui analisa-analisa dan
penjelasan dalam kalimat Allah dan hadits Rasulullah.
Syed Muhammad
Naquib Al-Attas
Dalam
pandangan Al-Attas westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan
skertisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap
metodologi ilmiah. Bukan hanya itu, westernisasi ilmu juga telah menjadikan
keraguansebagai alat epistemologi yang salah dalam keilmuan. Westernisasi ilmu tidak
dibangun diatas wahtu dan kepercayaan agama. Namun dibangun diatas tradisi
budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan
sekular yang memusatkan manusia sebagai mahluk rasional. Akibatnya, ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia.
Wahyu merupakan dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains
sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dan sudut
pandang rasionalisme dan empirisme.
Tanpa
wahyu, ilmu sains dianggap satu-satunya pengetahuan yang otentik (science is
the role authentic knowledge). Kosong dari wahyu, ilmu pengetahuan ini
hanya terkait dengan fenomena. Akibatnya kesimpulan kepada fenomena akan selalu
berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tanpa wahyu, realitas yang dipahami
hanya terbatas kepada alam nyata ini yang dianggap satu-satunya realitas.
Ismail Raji Al-Faruqi
Islamisasi
ilmu pengetahuan menurut Al-Faruqi adalah solusi terhadap dualisme sistem pendidikan
kaum muslimin saat ini. Baginya, dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan
dan disatukan dengan paradigma islam. Untuk semata-mata memenuhi kebutuhan
ekonomis dan pragmatis pelajar untuk
ilmu pengetahuan profesional, kemajuan pribadi atas pencapaian materi. Namun
paradigma tersebut harus diisi dengan sebuah misi yang tidak lain adalah
menanamkan menancapkan serta merealisasikan visi islam dalam ruang dan waktu.
Jafar Syeikh
Idris
Dalam
karyanya the process of islamization mengatakan bahwa islamisasi sebagai
program sosial-politik. Tujuan pergerakan islam adalah menghasilkan suatu
masyarakat baru disuatu tempat didunia ini yang sepenuhnya bertanggung jawab
menjalankan seluruh ajaran islam dan berusaha mematuhi ajaran-ajaran itu dalam
pemerintahan, politik, ekonomi, organisasi sosial hubungannya dengan
negara-negara lain, sistem pendidikan dan nilai-nilai moralnya, dan lain-lain
dari semua aspek jalan hidupnya (way of life).
Ziauddin Sardar
Secara
lugas dan sistematis, Sardar mengemukakan empat argumen tentang perlunya ilmu
pengetahuan islami. Pertama, bahwa dalam sejarah setiap peradaban besar
menciptakan sistem ilmu pengetahuannya yang berbeda-beda; kedua, peradaban
islam pun dalam sejarahnya mengembangkan sistem ilmu pengetahuan yang unik;
ketiga, ilmu pengetahuan barat bersifat destruktif terhadap umat manusia,
hingga ke akar-akarnya; keempat, ilmu pengetahuan barat tak dapat memenuhi
kebutuhan material, kultural, dan spiritual masyarakat muslim. Dari titik
inilah ziauddin Sardar menawarkan alternatif islam.
Setelah
menggali ide-ide tentang islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer yang
berkembang hingga saat ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar berpendapat
bahwa ilmu pengetahuan modernlah yang harus diislamkan. Ilmu pengetahuan modern
yang dimaksud adalah sains barat yang sekarang ini berkembang dan selanjutnya
disebut sains. Proses islamisasi yang diteliti pada bagian ini pun menggunakan
istilah islamisasi sains, yaitu sebuah perubahan pengkhususan materi dari
islamisasi ilmu pengetahuan pada umumnya.
LIMA PENDEKATAN
UTAMA DALAM ISLAMISASI SAINS BARAT MODERN
Apabila
dipahami secara mendalam, dari berbagai ide islamisasi sains yang berkembang
saat ini, paling tidak ada 5 konsep yang dapat didekati. Kelima konsep tersebut
senantiasa berkembang dan mempunyai pengikut yaitu pendekatan intrumentalistik,
justifikasi, sakralisasi, integrasi dan paradigma.
1.
Instrumentalistik
Konsep
islamisasi sains dengan pendekantan instrumentalistik merupakan sebuah konsep
yang menganggap ilmu atau sains sebagai alat (instrumen). Bagi mereka yang
berpandangan bahwa sains, terutama teknologi adalah sekadar alat untuk mencapai
tujuan, tidak memperdulikan sifat dari sains itu sendiri, yang terpenting sains
tersebut bisa membuahkan tujuan bagi pemakainya.
Bagi
Al-Afghani bahwa islam menganjurkan pengembangan pemikiran rasional dan
mengecam sikap taklid. Dalam hal ini yang dianjurkannya bukan hanya pengkajian
ilmu pengetahuan tetapi juga pengembangan filsafat islam yangtelah lama mandek.
Seperti Al-Afghani, Abduh tidak melihat adanya pertentangan antara ilmu
pengetahuan modern dan al-quran. Jika hal itu terjadi, maka berarti penafsiran
atas al-quran itulah yang mesti dipertanyakan. Dalam beberapa hal ridha tidak
tampak lebih moderat dari abduh. Jika seruan keras abduh untuk berijtihad
–untuk menafsirkan kembali islam agar memiliki vitalitas baru-dapat diartikan
sebagai adopsi total model barat untuk ilmu pengetuahuan, maka dibuatnya suatu
kriteria pembaruan islam untuk menyeleksi bagian-bagianyang diadopsi.
Konsep
ini memberikan kesadaran bagi umat untuk bangkit melawan ketertinggalan. Konsep
ini sangat tepat untuk memulai menyadari bahwa ketertinggalan.
2.
JUSTIFIKASI
Justifikasi
adalah penemuan ilmiah modern, terutama di bidang ilmu-ilmu alam diberikan
justifikasi (pembenaran) melalui ayat al-quran maupun al-hadits. Terbukti
dengan senantiasa terbit buku-buku yang mengupas penemuan ilmiah dikaitkan
dengan aya-ayat al-quran maupun hadits. Di antara yang menolak islamisasi sains
ini menyatakan bahwa islamisasi bukan ayatisasi. Bagi kalangan buccalilisme perkembangan
sains dan teknologi di abad 20 ini sebenarnya sangat menguntungkan umat islam.
Sebab, apa yang ditemukan oleh para pakar tersebut, yang rata-rata bukan
beragama islam, selaras dengan apa yang tertera di dalam alquran. Sementara,
kepercayaan mereka (ilmuwan kristen) terhadap bible makin menipis karena banyak
berselisihnya temuan sains dengan apa yang tercantum dalam kitab suci mereka.
Namun
demikian, ide islamisasi sains dengan konsep justifikasi ini menuai banyak
kritik. Diantara kritik tersebut datang dari ilmuwan yang bergerak di bidang
islamisasi sains pula yaitu ziauddin Sardar. Baginya al-quran tidak membutuhkan
validitas seperti itu karana al-quran adalah abadi bagi kaum muslimin.
3.
SAKRALISASI
Artinya,
sains modern yang sekarang ini bersifat sekuler dan jauh dari nilai-nilai
spiritualitas, diarahkan menuju sains mempunyai nilai sakral. Ide ini
dikemukakan oleh seyyed hossein nasr. Nasr kemudian mengemukakan idenya tentang
sains sakral yang membahas tentang kebenaran pada tiap tradisi, konsep manusia
dan konsep intelek dan rasio. Dalam sains sakral, iman tidak terpisah dari ilmu
dan intelek tidak terpisah dari iman. Ilmu pengetahuan pada akhirnya terkait
dengan intelak ilahi dan bermula dari segala yang sakral. Namun sakralisasi ini
akan tepat sebagai konsep islamisasi jika nilai dan unsur kesakralan yang
dimaksud di sana adalah nilai-nilai islam.
4.
INTEGRASI
Yaitu
mengintegrasikan sains barat dengan ilmu-ilmu islam. Ide ini diketengahkan oleh
Ismail R. Alfaruqi. Menurutnya akar dari kemunduran umat islam dalam berbagai
dimensi karena dualisme sistem pendidikan. Dalam pandangannya mengatasi
dualisme sistem pendidikan inilah yang merupakan tugas terbesar kaum muslimin
pada abad ke-15 H. Pada satu sisi,
sistem pendidikan islam mengalami penyempitan dalam pemaknaanya dalam berbagai
dimensi, sedangkan pada sisi yang lain, pendidikan sekular sangat mewarnai pemikiran
kaum muslimin.
5.
PARADIGMA
Konsep
islamisasi sains yang dirasakan paling mendasar dan menyentuh akar permasalahan
sains adalah konsep dengan pendekatan yang berlandaskan paradigma sains. Ide
islamisasi sains seperti ini yang disampaikan pertama kali secara sistematis
oleh Al-Attas. bahkan secara khusus ia menyebut permasalahan islamisasi adalah
permasalah mendasar yang bersifat epistemologis. Al-Attas menyerukan suatu
konsep ilmu yang berdasarkan pada wahyu karena merupakan sumber ilmu tentang
realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan mahluk ciptaan dan pencipta.
Ilmu-ilmu
modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga,
simbol, dari ilmu modern; beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang
berdampak kepada nilai dan etika; penafsiran historis ilmu tersebut, bangunan
teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas
proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya,
batasannya, hubung kaitnya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan
sosial harus diperiksa dengan teliti.
Proses
islamisasi sains itu sendiri menurut Al-Attas dilakukan dengan dua cara yang
paling berhubungan dan sesuai turutan, yaitu pertama ialah melakukan proses
pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan
peradaban barat, dan kedua memasukan elemen-elemen islam dalam konsep kunci
kedalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Jelasnya “ ilmu
hendaknya di diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep pokok dikeluarkan dari
setiap ranting. Ia pun mendukung metode tauhid dimana terdapat kesatuan dalam
kaidah empiris, rasional, deduktif dan induktif. Dengan demikian konsep
islamisasi sains secara paradigma ini akan berakar kuat dan sesuai dengan jiwa
islam. Umat akan terbebas dari penyakit yang selama ini menghinggapi pikiran
mereka akibat kesalahan memahami konsep ilmu. Dan umat akan membangun kembali
superioritas mereka di bidang ilmu sebagaimana dilakukan oleh umat islam
terdahulu seperti Ibnu Sina, Albiruni, Ibn Haytsam, Fakhruddin Arrazi, dan
sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar