Manusia adalah makhluk yang sangat unik dengan segala kelebihan,
kemampuan serta kekurangann nya. Sepanjang sejarah nya manusia selalu ingin
tahu, dan selalu berusaha untuk mencoba menguak tabir misteri yang mereka
hadapi. Dengan alat dan pijakan yang mereka miliki pada waktu itu, kemudian
manusia bergerak dan mencoba mencari tahu mencoba mencari hubungan-hubungan
antara kenyataan-kenyataan yang mereka lihat dan rasakan dengan harapan mereka
dapat membuat sebuah kesimpulan, mungkin untuk mencari keselamatan,
keberlangsungan hidup atau mungkin kebijaksanaan.
Pada awalnya manusia tidak memberi batasan yang jelas mengenai
pengetahuan mereka. Gejala-gejala alam, fenomena-fenomena bencana dan kekuatan
alam dihubungkan dengan hal-hal kedewaan dan kekuatan supranatural sehingga
membuat mereka melakukan hal-hal tertentu untuk menanggulangi hal-hal tersebut
diatas. Namun bagaimanapunjuga hal itu adalah usaha manusia untuk mencoba
membuat formula dan tatanan untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dengan
alam sekitar mereka.
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung
atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Selanjutnya manusia tidak
hanya berhenti kepada pengetahuan, mereka mencari kebenaran. Karena pada
hakekatnya kita mengharapkan pengetahuan yang benar. Lalu muncullah sebuah
pertanyaan bagaimanakah kita menyusun pengetahuan yang benar? Masalah inilah
yang dalam kajian filsafat disebut epistemologi, dan landasan epistemologi ilmu
disebut epistemologi ilmiah.
PENGETAHUAN
1.
Pengertian Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan berasal
dari kata bahasa inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosiphy
dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (Knowledge
is justified true belief).[1]
Dalam bahasa Indonesia kata dasar dari pengetahuan adalah tahu, mendapat awalan
pe dan akhiran an. Imbuhan pe-an menunjukkan adanya proses. Jadi menurut
susunan perkataannya, pengetahuan berarti proses mengetahui.
Secara terminologi akan kami
kemukakan beberapa tentang definisi ilmu pengetahuan. Menurut Drs. Sidi Gazalba
pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil dari pekerjaan tahu. Pekerjaan
tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai.
Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran.[2]
Dalam kamus filsafat dijelaskan
bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia
secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui
(subyek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian
aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri
dalam kesatuan aktif.[3]
Sebagai salah satu bidang filsafat, masalah ini dipersoalkan secara khusus di
dalam “epistimologi”, yang berasal dari bahasa Yunani episteme, berarti
pengetahuan dan bagaimana cara mengetahuinya.[4]
Pengetahuan adalah keseluruhan
pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat
juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu.
Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan
pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat
cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan
ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan
pengalaman belaka.[5]
Pengetahuan juga dapat artikan
sebagai sesuatu yang ada secara niscaya pada diri manusia. Keberadaan diawali
dari kecenderungan psikis manusia sebagai bawaan kodrat manusia, yaitu dorongan
ingin tahu yang bersumber kehendak atau kemauan. Sedangkan kehendak adalah
salah satu unsur kekuatan kejiwaan. Adapun unsur lainnya adalah salah satu
unsur kekuatan kejiwaan. Adapun unsur lainnya adalah adalah akal pikiran
(ratio) dan perasaan (emotion). Ketiganya berada dalam satu kesatuan, dan secara
terbuka bekerja saling mempengaruhi menurut situasi dan keadaan. Artinya, dalam
keadaan tertentu yang berbeda-beda, pikiran atau perasaan atau keinginan bisa
lebih dominan. Konsekuensinya ada pengetahuan akal (logika), pengetahuan
perasaan (estetika), dan pengetahuan pengalaman (etika). Idealnya, pengetahuan
seharusnya mengandung kebenaran sesuai prinsip akal, perasaan dan keinginan.
Dengan kata lain pengetahuan yang benar haruslah diterima dengan akal,
sekaligus dapat diterima oleh perasaan dan layak dapat dikerjakan dalam praktik
perilaku.
2.
Area-area Pengetahuan
Dalam rangka menggunakan pola pengetahuan (kognisi) rasional,
diperlukan area bagi berjalannya proses berpikir rasional ini. Pollock dan Cruz
mengemukakan beberapa area tersebut, menjelaskannya dan menolaknya sebagian.[6]
a.
Perceptual
Knowledge (pengetahuan yang diperoleh dari persepsi).
Kedua penulis buku ini menolak jenis pengetahuan ini, bahkan bertanya,
apakah pengetahuan yang berasal dari persepsi ini mungkin? Memang persepsi bisa
mengendalikan sebagian pengetahuan yang dipercaya di atas. Namun hal ini sulit
menerangkan munculkan sikap skeptis, apalagi menjelaskan tumbuhnya pengetahuan
yang berasal dari pemikiran, dan tidak mencakup benda-benda yang dipersepsi
manusia. Pengetahuan yang berasal dari persepsi juga sulit menjelaskan adanya
pengetahuan di luar diri manusia.
b.
A
Priori Knowledge (pengetahuan a-priori).
Pengetahuan ini biasa didefinisikan sebagai pengetahuan yang
diperoleh di luar atau bebas dari pengalaman manusia itu sendiri. Pengetahuan
tipe ini juga menunjukkan alasan-alasan paling mendasar bagi turunan
pengetahuan berikutnya. Secara konvemsional pengetahuan matematika diperoleh
dari jenis pengetahuan ini. Namun teorema Gődel baru-baru ini menerangkan,
bahwa dari banyak aksioma matematika yang ada, ternyata ada beberapa aksioma
yang baru bisa dibuktikan secara ”riil matematika”.
Saya menduga ini minimal tergolong dalam geometri atau aljabar,
yang dalam sejarahnya memang berbasis pengetahuan riil sehari-hari sebelum
diinduksikan menjadi aksioma abstrak. Pollock dan Cruz tidak menemukan
teori-teori besar yang muncul dari pengetahuan a-priori, kecuali intuisisme
apriori, yang pernah dibesarkan oleh Russel. Namun kedua penulis sulit
mempercayai bahwa intuisi semata-mata merupakan agen dari dalam manusia,
melainkan keduanya percaya bahwa intuisi pun dipengaruhi oleh lingkungannya.
c.
Moral
Knowledge (pengetahuan moral).
Selain pengetahuan a-priori di atas, aspek psikologis juga penting
saat dikembangkan pengetahuan moral. Namun selain oleh keberatan di atas,
Pollock dan Cruz juga mengalami kesulitan untuk menentukan “moral yang benar”.
Tanpa suatu patokan “moral yang benar”, selanjutnya menjadi sulit mengatakan
suatu pengetahuan turunannya juga benar. Keberatan lainnya ialah ketiadaan
kesepakatan di antara filsuf perihal moral yang benar ini. Bahkan bila
diandaikan ada suatu “moral yang benar”, masih muncul kesulitan, di mana
letaknya dalam suatu agen psikis. Sayangnya psikologi belum memiliki
pengetahuan yang definitif perihal ini. Dan Pollock serta Cruz menolak jenis
pengetahuan ini.
d.
Knowledge
of Other Minds(pengetahuan yang diperoleh dari pihak
lain).
Tipe area ini berkebalikan dari pengetahuan a-priori dan
pengetahuan berbasis moral. Bahkan sambil menerimanya, Pollock dan Cruz
menyatakan bahwa inilah area yang benar-benar membedakan epistemologi mutakhir
dari pokok studi lainnya. Memang sempat muncul solipsisme, yang menafikan
pengetahuan dari pihak lain. Tetapi bukti-bukti di lapangan lebih menonjolkan
kemampuan manusia untuk mengolah pengetahuan dari pihak lain atau pihak luar.
Di antara proses yang menonjol ialah analogi (yang berarti memaknai pengetahuan
dari pihak lain ke dalam pengalamannya sendiri), dan adaptasi (yang berarti
mengakui adanya pengetahuan lain, sehingga diri perlu mengubah
pengetahuan-yang-bisa-dipercaya).
e.
Memory
(ingatan)
Yang dalam melebihi pengetahuan berbasis persepsi maupun pengetahuan
a-priori. Memang sebagaimana keduanya, memori juga berkaitan dengan agen-agen
di dalam diri. Namun kelebihan memori ialah kemampuannya untuk mengolah
pengetahuan sebelumnya, sehingga bisa berbentuk jaring-jaring pemikiran yang
menjadi suatu alasan (reason) dari suatu hal. Melalui peran ini, memori menjadi
penting dalam rangka melegitimasi suatu pengetahuan, sehingga akhirnya menjadi
pengetahuan yang dipercaya sebagai kebenaran. Pollock dan Cruz menerima tipe
area pengetahuan ini.
f.
Induction
(induksi).
Sebagaimana dikemukakan di muka, jenis pengetahuan ini menjadi
penting dalam epistemology modern, karena kemampuannya untuk menyerap sifat
defeasible dari pengetahuan. Induksi bisa bersifat enumeratif, yang menunjukkan
suatu pengambil sample data-data, di mana semua data A yang ada menunjukkan
menjadi B, sehingga manusia bisa menyimpulkan adanya hubungan A ke B. Induksi
lainnya bersifat statistika, di mana proporsi dari sampel, misalnya proporsi A
dan B ialah m/n, maka muncul pengetahuan dugaan bahwa populasi juga berstruktur
m/n. Hal ini biasa dilakukan dala epistemology tradisional, di mana dari
induksi lalu disimpulkan secara deduktif suatu pengetahuan. Namun dalam
epistemology mutakhir, Goodman lebih menekankan kelemahan induksi dalam membuat
suatu ramalan (problem of projectibility). Jumlah sampel yang terbatas serta
proporsi di dalamnya membuat suatu induksi tidak bisa digunakan untuk peramalan
secara tepat. Di samping itu, pengambilan sampel memungkinkan suatu bias dari
pengetahuan yang didasarkan pada induksi.
3.
Beberapa Teori-teori Pengetahuan
Dalam membahas tentang teori
pengetahuan, idealisme mengemukakan pandangannya, bahwa pengetahuan yang
diperoleh melalui indra tidak pasti dan tidak lengkap, karena dunia hanyalah
merupakan tiruan belaka, sifatnya maya, yang menyimpang dari kenyataan
sebenarnya. Pengetahuan yang benar hanya merupakan hasl akal belaka, karena
akal bisa membedakan bentuk spiritual murni dari benda-benda di luar penjelmaan
material. Demikian menurut Plato, idealisme metafisika percaya, bahwa manusia
dapat pengetahuan tentang realitas, karena realitas pada hakikatnya spiritual,
sedangkan jiwa manusia merupakan bagian dari substansi spiritual tersebut.
Hegel menguraikan konsep plato
tentang teori pengetahuan dengan mengatakan, bahwa pengetahuan dikatakan valid,
sepanjang sistematis maka pengetahuan manusia tentang realitas adalah benar
dalam arti sistematis. Dalam teori pengetahuan dan kebenaran, idealisme merujuk
pada rasionalisme dan teori keherensi. Teori koherensi didasari oleh pendapat
bahwa item-item partikular pengetahuan menjadi signifikan apabila dilihat dari
konteks keseluruhan. Oleh karena itu, semua ide dan teori harus divalidasi
sehubungan dengan koherensinya (kesesuaiannya) dalam pengembangan sistem
pengetahuan yang tidak ada sebelumnya.
Pollock dan Cruz
mengembangkan sendiri tipologi teori-teori pengetahuan menurut teori doxastic,
nondoxastic, internal dan eksternal.[7]
1.
Teori
Doxastic (Doxastic Theories)
Teori-teori doxastic merujuk kepada epistemologi
tradisional, sekaligus ditolak oleh Pollock dan Cruz. Dalam ranah doxastic ini,
justifikasi pengetahuan-yang-dipercaya merupakan fungsi dari pengetahuan orang
itu sendiri, jadi tidak memandang adanya variabel dari luar diri (suatu keadaan
doxastic/doxastic state). Diasumsikan (asumsi doxastic), jika dua orang
memegang pengetahuan yang sama tetapi dalam pengaruh lingkungan yang berbeda,
tetap tidak ada perbedaan kepercayaan terhadap pengetahuan di antara keduanya.
Dari dasar asumsi inilah semua pengetahuan kita tentang dunia dikumpulkan dalam
suatu kepercayaan. Selanjutnya keputusan untuk mengambil pengetahuan-yang-benar
tertentu tergantung dari kepercayaan tadi. Sebagaimana di kemukakan di atas,
suatu pembuktian dalam ranah teori ini membutuhkan pembuktian dari dalam diri
sendiri.
2.
Teori
Nondoxastic (Nondoxastic Theories)
Teori ini memandang penting hal lain diluar kepercayaan merupakan
fungsi dari kepercayaan sebelumnya, nondoxastic theoris juga memandang penting
hal lain di luar kepercayaan itu sendiri. Dengan demikian suatu kesimpulan
dipandang benar tidak sekedar berbasiskan pengetahuan diri, tetapi dengan
mempertimbangkan juga pikiran lainnya. Dengan asas defeaseble, suatu
pengetahuan yang benar pada suatu lingkungan
tertentu mungkin dapat salah pada lingkungan yang berbeda.
3.
Teori
Internal (Internalism Theories)
Teori internal merujuk kepada jenis pengetahuan yang
diperoleh dari agen di dalam diri manusia. Kemampuan melakukan justifikasi
terhadap pengetahuan yang dipercaya seharusnya merupakan fungsi aparat
internal. Selanjutnya perkembangan pengetahuan ditentukan oleh kemampuan akses
internal secara sadar untuk menghubungkan antar kepercayaan yang sudah ada
tadi. Untuk menjadikan pengetahuan internal sebagai basis pengambilan keputusan
rasional, diperlukan jawaban atas pertanyaan, apakah kepercayaan terhadap
pengetahuan ini sudah muncul dengan sendirinya atau di awal sang diri itu
tumbuh? Pertanyaan lainnya, apakah pengetahuan kemudian berkelanjutan menurut
proses mengetahui secara benar?
Jelaslah bahwa teori-teori pengetahuan internalis ini
tertuju pada, bagaimana menghilangkan kepercayaan yang salah dan mengambil
kepercayaan yang benar. Namun dengan pola internalis, yang mengambil premis dan
kesimpulan dari dalam diri sendiri, muncullah problem cognitive essentialisme
(esensialisme kognitif). Dalam kaidah ini epistemologi secara benar sudah cukup
untuk proses mengetahui, dan tidak tergantung dari entitas lain, misalnya
reliabilitas proses. Pollock dan Cruz menentang esensialisme kognitif, namun
masih mempercayai kemampuan diri untuk melakukan refleksi dan inferensi. Dengan
terus mengolah informasi-informasi baru yang dipersepsi secara selektif dan
disusun menurut penjelasannya yang rasional, mereka percaya suatu pengetahuan
yang dipercaya benar akan diperoleh.
4.
Externalisme
(Externalism Theories)
Adapun dalam pandangan eksternalisme, sebagaimana
terefleksi dalam pandangan Pollock dan Cruz di atas, esensialisme kognitif juga
ditolak. Sedangkan internalisme secara umum dipandang tidak lengkap, melainkan
memerlukan pengetahuan dari luar. Secara tegas eksternalisme memandang, bahwa
proses memperoleh pengetahuan dapat benar pada suatu lingkungan tertentu,
tetapi dapat menjadi salah pada lingkungan lainnya. Di sini entitas di luar
diri menjadi penting dalam proses mencari kepercayaan yang benar.
KEBENARAN
Pengertian Kebenaran
Selama ada
kebudayaan yang tumbuh, berkembang dan lenyap di dalam sejarah umat manusia,
selama itu pula nilai kebenaran menjadi thema utama penyelidikan manusia. Dalam
kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rokhaniah. Manusia di dalam
kepribadian dan kesadarannya tak mungkin lepas dari kebenaran.
Seorang yang tidak
berpendidikan, buta huruf dan relatif “bodoh”, menangkap kebenaran terutama
menurut panca inderanya. Demikian pula seorang anak yang belum dewasa, mengerti
kebenaran semata-mata menurut ukuran pengalaman indera. Kebenaran bagi mereka
ini bersifat sederhana dan lahiriah. Akan tetapi seorang yang berpendidikan
tinggi maka kebenaran terutama diukur dengan ilmu pengetahuan atau rasio.
Inilah kebenaran Ilmiah, kebenaran yang dipandang objektif, tatapi jika
dianalisa lebih lanjut tidak seluruhnya kebenaran ilmiah itu objektif.
Secara umum orang
merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah mencapai kebenaran. Problematik mengenai
kebenaran, seperti halnya problematik tentang pengetahuan, merupakan
masalah-masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu.
Apabila orang memberikan prioritas kepada peranan pengetahuan, dan apabila
orang percaya bahwa dengan pengetahuan itu manusia akan menemukan kebenararan
dan kepastian, maka mau tidak mau orang harus berani menghadapi pernyataan
tersebut, sebagai hal yang mendasar dan hal yang mendasari sikap dan
wawasannya.
Dalam Kamus Umum
bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadarminta ditemukan arti kebenaran, yakni1.
Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang
sesungguhnya); misal, kebenaran berita ini masih saya sangsikan; kita harus
berani membela kebenaran dan keadilan. 2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh
ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya); misal, kebenaran-kebenaran
yang diajarkan oleh agama. 3. Kejujuran; kelurusan hati; misal, tidak ada
seorangpun yang sangsi akan kebenaran dan kebaikan hatimu. 4. Selalu izin;
perkenanan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan. 5. Jalan kebetulan; misal,
penjahat itu dapat dibekuk dengan kebenaran saja.[8]
Jenis-jenis Kebenaran
Telaah dalam
filsafat ilmu, membawa orang kepada kebenaran dibagi dalam tiga jenis. Menurut
A.M.W. Pranarka (1987) tiga jenis kebenaran itu adalah:
1.
Kebenaran
epistimologikal, yaitu pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan
pengetahuan manusia. Kadang-kadang disebut dengan istilah veritas
cognitionis ataupun veritas logica.
2.
Kebenaran
ontologikal, yaitu kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala
sesuatu yang ada atau diadakan. Apabila dihubungkan dengan kebenaran
epistimologikal kadang-kadang disebut juga kebenaran sebagai sifat dasar ada di
dalam objek pengetahuan itu sendiri.
3.
Kebenaran
semantikal, yaitu kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan
bahasa. Kebenaran semantikal disebut juga kebenaran moral (veritas moralis)
karena tutur kata dan bahasa itu mengkhianati atau tidak terhadap kebenaran
epistimologikal atau pun kebenaran ontologikal, maka tergantung kepada manusianya
yang mempunyai hak untuk menggunakan tutur kata atau pun bahasa itu.
Apabila
kebenaran epistimologikal terletak di dalam adanya kemanunggalan yang sesuai
serasi terpadu antara apa yang dinyatakan oleh proses cognitif intelektual
manusia dengan apa yang sesungguhnya ada di dalam objek (yang disebut esse
reale rei), apakah itu konkret atau abstrak, maka implikasinya adalah bahwa
di dalam esse reale rei memang terkandungsuatu sifat intelligibilitas
(dapat diketahui kebenarannya).
Hal
intelligibilitas sebagai kodrat yang melekat di dalam objek, di dalam benda,
barang, makhluk dan sebagainya sebagai objek potensial maupun riil dari
pengetahuan cognitif intelektual manusia itulah yang disebut kebenaran ontological,
yaitu sifat benar yang melekat di dalam objek.
Beberapa Teori Kebenaran
Rumusan subtantif
tentang apa itu kebenaran (truth), terdapat banyak teori. Michael
Williams mengenalkan setidaknya 5 teori kebenaran, yaitu: kebenaran
korespondensi, kebenaran koherensi, kebenaran pragmatig, kebenaran performatif, kebenaran paradigmatik
dan kebenaran proposisi.
1.
Teori Kebenaran Korespondensi
Kebenaran
korespondesi adalah kebenaran yang bertumpu pada relitas objektif.[9]
Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan
kepastian indrawi. Sesuatu dianggap benar apabila yang diungkapkan (pendapat,
kejadian, informasi) sesuai dengan fakta (kesan, ide-ide) di lapangan.[10]
Contohnya:
ada seseorang yang mengatakan bahwa Provinsi Jawa Timur itu berada di Pulau
Jawa. Pernyataan itu benar karena sesuai dengan kenyataan atau realita yang
ada. Tidak mungkin Provinsi Jawa Timur di Pulau Kalimantan atau bahkan Papua.
Cara
berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori
kebenaran menurut korespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga
pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian
moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai
moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam
tingkah lakunya.
2.
Teori Kebenaran Koherensi
Teori
ini disebut juga dengan konsistensi, karena mendasarkan diri pada kriteria
konsistensi suatu argumentasi. Makin konsisten suatu ide atau pernyataan yang
dikemukakan beberapa subjek maka semakin benarlah ide atau pernyataan tersebut.
Paham koherensi tentang kebenaran biasanya dianut oleh para pendukung
idealisme, seperti filusuf Britania F. H. Bradley (1846-1924).[11]
Teori
ini menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat
kejadian, atau informasi) akan diakui sahih atau dianggap benar apabila
memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga
sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
logika.[12]
Sederhannya, pernyataan itu dianggap benar jika sesuai (koheren/konsisten)
dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contohnya:
a)
Sayyidina
Ali adalah menantunya Rasulullah SAW. Pernyataan ini kita ketahui dan kita
terima kebenarannya dari sirah nabawiyyah.
b)
Setiap
manusia pasti akan mati. Soleh adalah seorang manusia. Jadi, Soleh pasti akan
mati
3.
Teori Kebenaran Pragmatik/Pragmatisme
Artinya,
suatu pernyataan itu benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan
itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.[13]
Teori pragmatis ini pertama kali dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914)
dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make
Our Ideas Clear”.
Dari
pengertian diatas, teori ini (teori Pragmatik) berbeda dengan teori koherensi
dan korespondensi. Jika keduanya berhubungan dengan realita objektif, sedangkan
pragmamtik berusaha menguji kebenaran suatu pernyataan dengan cara menguji
melalui konsekuensi praktik dan pelaksanaannya.
Pegangan
pragmatis adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima pengalaman
pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari semua itu membawa akibat
praktis yang bermanfaat.[14]
Contohnya:
“apakah agama bisa memberikan manfaat bagi penganutnya?”. Kita dapat berkaca
pada pengalaman diri dan pengalaman banyak orang bahwa agama memberi manfaat
besar bagi kehidupan manusia setidaknya dalam lima hal yaitu:
a)
Agama
mampu memenuhi sense of religion.
b)
Agama
mampu menjawab masalah-masalah yang ada pada psikologi manusia.
c)
Agama
mampu menghadirkan ketenangan, kebahagiaan, kedamaian dan keteraturan dalam
hidup.
d)
Agama
munjadikan pemeluknya memiliki makna dan tujuan hidup.
e)
Agama
mampu menjawab sekian banyak rasa ingin tahu manusia, misalnya tentang hal-hal
ghaib.
4.
Teori Kebenaran Performatik
Teori
ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang
otoritas tertentu. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah,
pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran
performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan
beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya. Namun, disamping itu
juga masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir
kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa
mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas.
Contohnya;
mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian umat muslim di Indonesia mengikuti fatwa
atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti
fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.
5.
Teori Kebenaran Struktural Paradigmatik
Suatu
teori itu dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau
perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung
paradigma tersebut. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh
anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains
adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama. Masyarakat sains bisa
mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma.
Dengan
kekuatan paradigma dan masyarakat sains pendukungnya, diharapkan kebenaran
struktural paradigmatik dapat menjawab berbagai problema kehidupan manusia di
masa depan. Krisis global berupa krisis lingkungan dan krisis kemanusiaan yang
selama ini telah dialami oleh manusia karena Sains Modern, cepat atau lambat
akan dijawab oleh konsensus baru dengan paradigma yang menghasilkan metode yang
lebih tepat dalam mengantisipasi krisis global tersebut.
6.
Teori Kebenaran Proposisi
Sesuatu
kebenaran dapat diperoleh bila proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles,
proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi.
Dalam logika proposisi yang lain, proposisi benar tidak dilihat pada benar
formalnya, melainkan dilihat pada benar materiilnya. [15]
Contohnya:
logika matematik sederhana : ½ a = ½ b; sehingga a = b. Matematik teoritik
simbolik logika tersebut benar. Kita tahu bahwa ½ gelas isi kalau dilukis akan
memiliki gambar yang sama dengan ½ gelas kosong, sesuai dengan logika matematik
simbolik teoritik tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa isi sama
dengan kosong. Bentuk formilnya susdah benar tetapi materiinya salah.
Proposisi
tidak lain adalah suatu pernyataan yang berisi banyak kompleks. Pernyataan itu
merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Persyaratan
benarnya proposisi dapat kita dasarkan pada model logika Aristoteles yang
mendasarkan pada syarat formal yang deduktif sedangkan model logika tradisional
kuno lainnya adalah matematik deduktif materiil kategorik dari Euclides.
Disebut logika materiil, karena kebenaran dibuktikan atas bukti materiil.
Konstruk proposisinya menggunakan berfikir sistematisasi deduktif dengan
aksioma dan theoreem.
Justifikasi
Pengertian
Justifikasi
Justifikasi adalah alasan kenapa seseorang memiliki suatu
keyakinan, sebuah penjelasan mengenai kenapa sebuah keyakinan adalah benar,
atau bagaimana seseorang tahu apa yang diketahuinya. Pembenaran
juga berarti melakukan pertanggungjawaban rasional atas klaim kebenaran
kepercayaan atau pendapat yang dipegang
Banyak hal yang bisa dijustifikasi, diantaranya : keyakinan,
tindakan, emosi, klaim, aturan, teori-teori dan lain-lain. Secara epistemologi
justifikasi mengacu pada keyekinan. Hal ini sebab pengaruh dari suatu definisi
pengetahuan yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah kepercayaan yang benar
yang dijustifikasi, yang sering kali di asosiasikan dengan sebuah teori yang
didiskusikan oleh socrates dalam dialog nya “Theaetetus”. Secara umum,
teori-teori justifikasi berfokus kepada pen justifikasian terhadap setatemen
atau proposisi.[16]
Pada teori paling awal mengenai pengetahuan bahwa pengetahuan
adalah “justified true belief” atau bisa diterjemahkan secara bebas kepercayaan yang benar dan terjustifikasi yang di promosikan oleh Plato
yang mana teori ini kemudian mendapat kritik dari Gettier pada tahun 1963.
Pengertian yang diusung oleh plato masih dianggap bukanlah suatu pengetahuan, sebagaimana
ditulis oleh Keith Lehrer bahwa syarat-syarat ini masih belum cukup, dan perlu
diadakan penambahan kriteria karena penjelasan tersebut masih irasional.[17]
contoh kasus yang diutarakan oleh Edmund Gettier adalah diantaranya
sebagai berikut. Contoh kasus 1 : Smith mengajukan lamaran kerja, tetapi dia
menjustifikasi yakin bahwa Jon lah yang akan mendapatkan pekerjaan. Smith juga
yakin bahwa Jon memiliki 10 coin di saku nya. Kemudian smith membuat kesimpulan
bahwa orang yang akan mendapatkan pekerjaan memiliki 10 koin disakunya. Pada
kenyataannya, Jon tidak mendapat pekerjaan. Akan tetapi, justru Smith yang
mendapatkan pekerjaan. Namun ternyata Smith juga memiliki 10 koin di sakunya.
Jadi kepercayaan Smith bahwa orang yang mendapat pekerjaan adalah orang yang
memiliki 10 koin disakunya terjustifikasi
dan benar. Akan tetapi bukanlah suatu pengetahuan.[18]
Beberapa
Teori Justifikasi
1.
Fondasionalisme
Fondasionalisme adalah teori pembenaran yang menyatakan
bahwa suatu klaim kebenaran pengetahuan untuk dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional perlu didasarkan atas suatu fondasi atau basis yang kokoh, yang
jelas dengan sendirinya, tak dapat diragukan kebenarannya dan tak memerlukan
koreksi lebih lanjut.
2.
Koherentisme
Menurut teori ini, semua kepercayaan mempunyai
kedudukan empirik yang sama, sehingga tidak perlu ada pembedaan
antarkepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan sebagaimana dibuat
fondasionalisme. Jadi suatu kepdengan sendirinya suatu kepercayaan bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya kalau kepercayaan itu koheren atau konsisten
dengan keseluruhan sistem kepercayaan yang selama ini diterima kebenarannya.[19]
3.
Internalisme
Internalisme adalah pandangan bahwa orang selalu dapat
menentukan dengan melakukan introspeksi diri apakah kepercayaan atau
pendapatnya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara rasional atau
tidak. Motivasi yang mendorong orang untuk menganut aliran internalisme adalah
bahwa manusia sebagai makhluk rasional secara prima facie mempunyai kewajiban
untuk mempertanggungjawabkan secara apa yang ia percayai atau apa yang menjadi
pendapatnya.
4.
Eksternalisme
Berlawanan dengan para internalis, kaum eksternalis
lebih menekankan proses penyebaban dari faktor-faktor eksternal seperti dapat
dapat diandalkan tidaknya proses pemerolehan pengetahuan yang terjadi,
berfungsi tidaknya secara normal dan semestinya sarana-sarana wajar kita untuk
mengetahui. Demikian juga lingkungan, sejarah dan konteks sosial yang
mempengaruhi proses pemerolehan pengetahuan menjadi bagian dari faktor penentu
dibenarkan tidaknya suatu kepercayaan atau pendapat.[20]
Justifikasi
Epistemik
Pertama, sebuah pengetahuan membutuhkan justifikasi epistemik,
meskipun begitu disana ada juga justifikasi-justifikasi yang tidak epistemik.
Sebagai contoh ketika seorang pmukul bola kasti kemungkinan besar bisa memukul
bola jika dia yakin bahwa dia bisa memukul bola. Tentu saja dia mungkin saja
tidak berhasil memukul bola, akan tetapi memiliki keyakinan semacam ini akan
berdampak baik bagi sang pemukul tersebut. Dengan begitu bisa disebut hal itu
adalah justifikasi praktis atas keyakinannya meskipun hal ini tidak bisa
disebut justifikasi epistemik.[21]
Epistemik sendiri dari bahasa yunani episteme yang berarti
“pengetahuan, pemahaman”. Yang mana menurut plato bahwa pengetahuan adalah
sebuah kepercayaan yang benar yang dapat dijelaskan dengan baik. Menurut teori
bahwa pengetahuan adalah sebuah kepercayaan yang benar dan terjustifikasi,
bahwa seseorang agar tahu bahwa proposisi itu benar maka seseorang tidak hanya
harus percaya bahwa proposisi-proposisinya benar, akan tetapi dia juga harus
memiliki alasan-alasan yang kuat untuk keyakinannya itu.[22]
Ketika seseorang mengalami sakit dan yang sangat membahayakan, yang
mana banyak orang meninggal karena penyakit ini. Meskipun bukti bahwa
orang-orang tidak bisa sembuh dari penyakit semacam ini, akan tetapi sebuah
keyakinan bahwa orang ini bisa sembuh adalah suatu hal positif yang bisa
meningkatkan kesempatan orang itu. Dalam hal semacam ini orang ini memiliki
justifikasi kehati-hatian atau moral yang menyebabkannya memiliki keyakinan
bahwa dia akan sembuh meskipun tidak ada justifikasi epistemik mengenai hal
itu.
Tidak seperti justifikasi moral dan kehati-hatian, justifikasi
epistemik memiliki ikatan yang erat dengan dengan jalan menuju kebenaran.
Meskipun susah untuk digambarkan bagaimana jalan yang seperti apakah yang bisa
menghubungkan kepada kebenaran. Mungkin secara dangkal bisa dikatakan bahwa
justifikasi epistemik mencapai suatu kebenaran dengan cara yang sama sekali
berbeda dengan cara-cara justifikasi moral dan kehati-hatian. Dengan kata lain
ketika seseorang menjustifikasi sebuah kepercayaan atas suatu proposisi maka
kepercayaan seseorang itu bisa dikatakan benar.
Kedua, sebuah proposisi bisa saja benar akan tetapi tidak di
justifikasi. Sebuah contoh bahwa (i) jumlah bintang-bintang dilangit itu selalu
sama, dan (ii) jumlah bintang dilangit itu tidak sama. Kedua hal ini (i) dan
(ii) adalah sama-sama benar, akan tetapi kita tidak bisa menjustifikasi nya.
Karena kita tidak memiliki bukti akan hal itu.
Ketiga, sebuah kebenaran bisa saja dijustifikasi akan tetapi tidak
benar. Misalnya anda menjustifikasi bahwa sekarang adalah tengah hari (noon),
anda menjustifikasi seperti ini karena anda melihat jam tangan dan jam itu
menunjukkan bahwa sekarang adalah tengah hari. Akan tetapi tanpa anda ketahui
bahwa jam anda berhenti saat tengah hari, dan kenyataannya sekarang adalah jam
12:30. Sebuah contoh lain A yakin bahwa dia melihat seeorang yang didepan kelas
adalah Lisa. A menjustifikasi begitu karena dia melihat seseorang yang dia
lihat itu persis, berbaju dan bertingkah laku seperti Lisa. Tanpa dia ketahui
bahwa Lisa memiliki saudari kembar identik dan yang dilihat si A bukanlah Lisa.
Jadi keyakinannya salah, akan tetapi terjustifikasi.
Keempat, justifikasi itu relatif. Karena suatu proposisi bisa di
justifikasikan pada seseorang akan tetapi tidak bisa kepada orang lain. Contoh,
A adalah seorang pencuri, dan proposisi bahwa A adalah pencuri mungkin
dijustifikasikan hanya kepada A, dan tidak kepada yang lain. Lebih jauh lagi
bahwa suatu proposisi bisa dijustifikasikan pada seseorang, pada suatu waktu
akan tetapi tidak pada waktu yang lain.
Contoh : teman-teman A menjustifikasi kepercayaan mereka bahwa A bukan
pencuri, akan tetapi setelah dipelajari dan dilihat bukti-bukti lebih lanjut
kini mereka memiliki justifikasi keyakinan bahwa A adalah pencuri.
Kelima, justifikasi epistemik memiliki tingkatan. Sebuah
justifikasi muncul pada tingkatan yang pasti atau maksimal, atas sebuah
proposisi yang di justifikasi, dan masuk akal. Sebuah proposisi bahwa 2=2,
bahwa saya berpikir, bahwa saya ada, adalah hal yang pasti. Sebaliknya sebuah
proposisi bahwa saya masih hidup tiga bulan lagi adalah sesuatu yang tidak
pasti atau tidak maksimal terjustifikasi bagi saya. Hal itu bukan suatu
keyakinan yang pasti karena proposisi bahwa saya hidup sekarang lebih
terjustifikasi bagi saya dari pada hal tadi.[23]
PENUTUP
Kesimpulan
Pengetahuan pada awalnya diartikan sebagai “Justified True Belief”
yang mana hal ini melahirkan kritik dan memunculkan teori-teori yang sangat
beragam. Semua proses dan kritik itu dilakukan untuk mencapai suatu kebenaran.
Karena pada hakekatnya manusia ingin mencari tahu segala hal yang ada
disekelilingnya yang kemudian dengan melalui proses yang panjang menuju kepada
sistematika pengetahuan yang teratur, yang pada ujungnya pengetahuan manusia
menghendaki pengetahuan yang tidak hanya suatu pengetahuan saja, akan tetapi
lebih jauh lagi bahwa pengetahuan yang mereka miliki itu adalah benar.
Selama
ada kebudayaan yang tumbuh, berkembang dan lenyap di dalam sejarah umat
manusia, selama itu pula nilai kebenaran menjadi tema utama penyelidikan
manusia. Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rokhaniah. Manusia di
dalam kepribadian dan kesadarannya tak mungkin lepas dari kebenaran. Secara umum orang merasa bahwa tujuan
pengetahuan adalah mencapai kebenaran. Problematik mengenai kebenaran, seperti
halnya problematik tentang pengetahuan, merupakan masalah-masalah yang mengacu
pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu. Apabila orang memberikan
prioritas kepada peranan pengetahuan, dan apabila orang percaya bahwa dengan
pengetahuan itu manusia akan menemukan kebenararan dan kepastian, maka mau
tidak mau orang harus berani menghadapi pernyataan tersebut, sebagai hal yang
mendasar dan hal yang mendasari sikap dan wawasannya.
Usaha
manusia untuk mengetahui kebenaran pengetahuan pada gilirannya membuahkan
sebuah pertanyaan bagaimana seseorang bisa memiliki suatu keyakinan, sebuah
penjelasan mengenai kenapa sebuah keyakinan adalah benar, atau bagaimana
seseorang tahu apa yang diketahuinya. Hal ini adalah tugas justifikasi, ada
banyak hal yang bisa dijustifikasi, diantaranya : keyakinan, tindakan, emosi,
klaim, aturan, teori-teori dan lain-lain. Secara epistemologi justifikasi
mengacu pada keyakinan.
Segala
usaha diatas dilakukan manusia untuk menemukan kebenaran, sebagaimana kita
ketahui bahwa pengetahuan manusia senantiasa berkembang maka hal-hal tersebut
dalam makalah kami akan terus mengalami perkembangan juga. Selain daripada itu
kami sebagai pemakalah merasa bahwa tulisan kami ini masih memiliki banyak
kekurangan, maka dari itu masukan serta saran dari para pembaca pastinya akan
sangat bermanfaat bagi kami.
DAFTAR
PUSTAKA
Adib, Muhammad. “FILSAFAT ILMU: Ontologi, Epistimologi,
Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan”. Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2010.
Ahmad, Beni Saebani. “FILSAFAT ILMU: Kontemplasi Filosofis
tentang Seluk-beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan”. Bandung: Pustaka
Setia, 2009.
Artemov, Sergei. Draft “Justification Logic: when Justified True
Belief is Knowledge”. Diakses di: artemov@gc.cuny.edu pada: 7 oktober 2012, jam: 19:30 WIB.
Bagus,
Loren. “Kamus filsafat”. Jakarta: Gramedia, 1996.
Edwards,
Paul. “ The Encyclopedia of Philosophy Vol. 3”. New York:
Macmillan Publishing,
Gazalba
, Sidi, “Sistematika Filsafat”. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Kattsoff, Louis O. “Pengantar Filsafat”. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2004.
Lehrer, Keith and Thomas Paxson. “The Journal of Philosophy”.
1969.
Lemos, Noah. “An Introduction to the Theory of Knowledge”.
Cambridge: Cambridge University Press, 2007.
Pollock , John L. and Joseph Cruz. “Contemporary Theories of
Knowledge”. Arizona:
Rowman & Littlefield
publishers
Sudarminta, J. “Epistemologi Dasar”. Yogyakarta: Kanisius
2002.
Suhartono,
Suparlan. “Filsafat Ilmu Pengetahuan”. Jogjakarta: Ar-Ruzz Madia, 2008.
Supriyanto,S. “Filsafat Ilmu”. Surabaya: Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan Masyarakat
Universitas
Airlangga, 2003.
Surajiyo. “Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia”.
Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2010
Suriasumantri, Jujun S. “FILSAFAT ILMU: Sebuah Pengantar Populer”.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007
http://en.wikipedia.org/wiki/Theory_of_justification, diakses pada: 10 oktober 2012, jam 23:30 WIB
http://philosophyfaculty.ucsd.edu/faculty/rarneson/courses/gettierphilreading.pdf, diakses pada: 10 oktober 2012, jam: 23:28 WIB.
[1] Paul Edwards, The Encyclopedia of
Philosophy, (New York: Macmillan Publishing, 1972), Vol. 3.
[2] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), cet. 1, 4.
[3] Loren Bagus, Kamus filsafat, (Jakarta:
Gramedia, 1996), cet. 1, 803.
[4] Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu
Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Madia, 2008), 48.
[5] S.
Supriyanto, Filsafat Ilmu, (Surabaya: Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, 2003)
[6] John L. Pollock and Joseph Cruz, Contemporary
Theories of Knowledge, (Arizona: Rowman & Littlefield publishers),
15-22.
[7]
John L. Pollock and Joseph Cruz, Contemporary
Theories of Knowledge, (Arizona: Rowman & Littlefield publishers),
23-27.
[8] Drs. Surajiyo,
“Filsafat Ilmu dan Pengembangannya di Indonesia”, hal: 102
[9] Drs.
Beni Ahmad Saebani. “Filsafat Ilmu: Kontemplasi filosofis tentang seluk
beluk sumber dan tujuan ilmu pengetahuan”. hal: 7
[10] Drs.
H. Moh. Adib. “Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan logika
ilmu pengetahuan”. hal:122
[11] Louis O. Kattsoff. “PENGANTAR FILSAFAT” hal: 176
[12] Drs. H. Moh.
Adib. “Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan logika ilmu
pengetahuan”. hal:121
[13] Jujun S.
Suriasumantri. “Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer”. Hal: 59
[14] Drs. Beni Ahmad Saebani. “Filsafat Ilmu: Kontemplasi filosofis
tentang seluk beluk sumber dan tujuan ilmu pengetahuan”. hal: 7
[15] Prof. Dr. H.Noeng
Muadjir, “FILSAFAT ILMU Positivisme, PostPositivisme, PostModernisme”,
hal: 17
[16]
http://en.wikipedia.org/wiki/Theory_of_justification.
Lihat juga J.Sudarminta, “Epistemologi Dasar”, hal: 153.
[17]
Keith Lehrer and Thomas Paxson, “The Journal of Philosophy”. Hal:225
[18]
Sergei Artemov, an abstract
“Justification Logic: when Justified True Belief is Knowledge. Lihat juga
Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?””. From analysis. Vol. 23.
Diakses dari : http://philosophyfaculty.ucsd.edu/faculty/rarneson/courses/gettierphilreading.pdf
[19]
J. Sudarminta, “Epistemologi Dasar”.Hal:154
[20]
J. Sudarminta, “Epistemologi Dasar”.Hal:154
[21]
Noah Lemos. “An Introduction to the Theory of Knowledge”.hal:13
[22]
PONOROGOBLOG.wordpress.com. diakses pada 08-okteber-2012. Jam 21:00 WIB.
[23]
Op cit, Hal: 15
2 komentar:
IZIN copy bos,,tambahan refrensi..moga berkah.amin..tks!
izin copass, terimakasihh
Posting Komentar