Pages

Subscribe:

Labels

Sabtu, 30 Maret 2013

PENGETAHUAN, KEBENARAN DAN JUSTIFIKASI



Manusia adalah makhluk yang sangat unik dengan segala kelebihan, kemampuan serta kekurangann nya. Sepanjang sejarah nya manusia selalu ingin tahu, dan selalu berusaha untuk mencoba menguak tabir misteri yang mereka hadapi. Dengan alat dan pijakan yang mereka miliki pada waktu itu, kemudian manusia bergerak dan mencoba mencari tahu mencoba mencari hubungan-hubungan antara kenyataan-kenyataan yang mereka lihat dan rasakan dengan harapan mereka dapat membuat sebuah kesimpulan, mungkin untuk mencari keselamatan, keberlangsungan hidup atau mungkin kebijaksanaan.
Pada awalnya manusia tidak memberi batasan yang jelas mengenai pengetahuan mereka. Gejala-gejala alam, fenomena-fenomena bencana dan kekuatan alam dihubungkan dengan hal-hal kedewaan dan kekuatan supranatural sehingga membuat mereka melakukan hal-hal tertentu untuk menanggulangi hal-hal tersebut diatas. Namun bagaimanapunjuga hal itu adalah usaha manusia untuk mencoba membuat formula dan tatanan untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dengan alam sekitar mereka.
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Selanjutnya manusia tidak hanya berhenti kepada pengetahuan, mereka mencari kebenaran. Karena pada hakekatnya kita mengharapkan pengetahuan yang benar. Lalu muncullah sebuah pertanyaan bagaimanakah kita menyusun pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang dalam kajian filsafat disebut epistemologi, dan landasan epistemologi ilmu disebut epistemologi ilmiah.







PENGETAHUAN
1.      Pengertian Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata bahasa inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosiphy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (Knowledge is justified true belief).[1] Dalam bahasa Indonesia kata dasar dari pengetahuan adalah tahu, mendapat awalan pe dan akhiran an. Imbuhan pe-an menunjukkan adanya proses. Jadi menurut susunan perkataannya, pengetahuan berarti proses mengetahui.
Secara terminologi akan kami kemukakan beberapa tentang definisi ilmu pengetahuan. Menurut Drs. Sidi Gazalba pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil dari pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran.[2]
Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subyek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.[3] Sebagai salah satu bidang filsafat, masalah ini dipersoalkan secara khusus di dalam “epistimologi”, yang berasal dari bahasa Yunani episteme, berarti pengetahuan dan bagaimana cara mengetahuinya.[4]
Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu.  Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka.[5]
Pengetahuan juga dapat artikan sebagai sesuatu yang ada secara niscaya pada diri manusia. Keberadaan diawali dari kecenderungan psikis manusia sebagai bawaan kodrat manusia, yaitu dorongan ingin tahu yang bersumber kehendak atau kemauan. Sedangkan kehendak adalah salah satu unsur kekuatan kejiwaan. Adapun unsur lainnya adalah salah satu unsur kekuatan kejiwaan. Adapun unsur lainnya adalah adalah akal pikiran (ratio) dan perasaan (emotion). Ketiganya berada dalam satu kesatuan, dan secara terbuka bekerja saling mempengaruhi menurut situasi dan keadaan. Artinya, dalam keadaan tertentu yang berbeda-beda, pikiran atau perasaan atau keinginan bisa lebih dominan. Konsekuensinya ada pengetahuan akal (logika), pengetahuan perasaan (estetika), dan pengetahuan pengalaman (etika). Idealnya, pengetahuan seharusnya mengandung kebenaran sesuai prinsip akal, perasaan dan keinginan. Dengan kata lain pengetahuan yang benar haruslah diterima dengan akal, sekaligus dapat diterima oleh perasaan dan layak dapat dikerjakan dalam praktik perilaku.

2.      Area-area Pengetahuan
Dalam rangka menggunakan pola pengetahuan (kognisi) rasional, diperlukan area bagi berjalannya proses berpikir rasional ini. Pollock dan Cruz mengemukakan beberapa area tersebut, menjelaskannya dan menolaknya sebagian.[6]
a.       Perceptual Knowledge (pengetahuan yang diperoleh dari persepsi).
Kedua penulis buku ini menolak jenis pengetahuan ini, bahkan bertanya, apakah pengetahuan yang berasal dari persepsi ini mungkin? Memang persepsi bisa mengendalikan sebagian pengetahuan yang dipercaya di atas. Namun hal ini sulit menerangkan munculkan sikap skeptis, apalagi menjelaskan tumbuhnya pengetahuan yang berasal dari pemikiran, dan tidak mencakup benda-benda yang dipersepsi manusia. Pengetahuan yang berasal dari persepsi juga sulit menjelaskan adanya pengetahuan di luar diri manusia.

b.      A Priori Knowledge (pengetahuan a-priori).
Pengetahuan ini biasa didefinisikan sebagai pengetahuan yang diperoleh di luar atau bebas dari pengalaman manusia itu sendiri. Pengetahuan tipe ini juga menunjukkan alasan-alasan paling mendasar bagi turunan pengetahuan berikutnya. Secara konvemsional pengetahuan matematika diperoleh dari jenis pengetahuan ini. Namun teorema Gődel baru-baru ini menerangkan, bahwa dari banyak aksioma matematika yang ada, ternyata ada beberapa aksioma yang baru bisa dibuktikan secara ”riil matematika”.
Saya menduga ini minimal tergolong dalam geometri atau aljabar, yang dalam sejarahnya memang berbasis pengetahuan riil sehari-hari sebelum diinduksikan menjadi aksioma abstrak. Pollock dan Cruz tidak menemukan teori-teori besar yang muncul dari pengetahuan a-priori, kecuali intuisisme apriori, yang pernah dibesarkan oleh Russel. Namun kedua penulis sulit mempercayai bahwa intuisi semata-mata merupakan agen dari dalam manusia, melainkan keduanya percaya bahwa intuisi pun dipengaruhi oleh lingkungannya.

c.       Moral Knowledge (pengetahuan moral).
Selain pengetahuan a-priori di atas, aspek psikologis juga penting saat dikembangkan pengetahuan moral. Namun selain oleh keberatan di atas, Pollock dan Cruz juga mengalami kesulitan untuk menentukan “moral yang benar”. Tanpa suatu patokan “moral yang benar”, selanjutnya menjadi sulit mengatakan suatu pengetahuan turunannya juga benar. Keberatan lainnya ialah ketiadaan kesepakatan di antara filsuf perihal moral yang benar ini. Bahkan bila diandaikan ada suatu “moral yang benar”, masih muncul kesulitan, di mana letaknya dalam suatu agen psikis. Sayangnya psikologi belum memiliki pengetahuan yang definitif perihal ini. Dan Pollock serta Cruz menolak jenis pengetahuan ini.

d.      Knowledge of Other Minds(pengetahuan yang diperoleh dari pihak lain).
Tipe area ini berkebalikan dari pengetahuan a-priori dan pengetahuan berbasis moral. Bahkan sambil menerimanya, Pollock dan Cruz menyatakan bahwa inilah area yang benar-benar membedakan epistemologi mutakhir dari pokok studi lainnya. Memang sempat muncul solipsisme, yang menafikan pengetahuan dari pihak lain. Tetapi bukti-bukti di lapangan lebih menonjolkan kemampuan manusia untuk mengolah pengetahuan dari pihak lain atau pihak luar. Di antara proses yang menonjol ialah analogi (yang berarti memaknai pengetahuan dari pihak lain ke dalam pengalamannya sendiri), dan adaptasi (yang berarti mengakui adanya pengetahuan lain, sehingga diri perlu mengubah pengetahuan-yang-bisa-dipercaya).

e.       Memory (ingatan)
Yang dalam melebihi pengetahuan berbasis persepsi maupun pengetahuan a-priori. Memang sebagaimana keduanya, memori juga berkaitan dengan agen-agen di dalam diri. Namun kelebihan memori ialah kemampuannya untuk mengolah pengetahuan sebelumnya, sehingga bisa berbentuk jaring-jaring pemikiran yang menjadi suatu alasan (reason) dari suatu hal. Melalui peran ini, memori menjadi penting dalam rangka melegitimasi suatu pengetahuan, sehingga akhirnya menjadi pengetahuan yang dipercaya sebagai kebenaran. Pollock dan Cruz menerima tipe area pengetahuan ini.

f.       Induction (induksi).
Sebagaimana dikemukakan di muka, jenis pengetahuan ini menjadi penting dalam epistemology modern, karena kemampuannya untuk menyerap sifat defeasible dari pengetahuan. Induksi bisa bersifat enumeratif, yang menunjukkan suatu pengambil sample data-data, di mana semua data A yang ada menunjukkan menjadi B, sehingga manusia bisa menyimpulkan adanya hubungan A ke B. Induksi lainnya bersifat statistika, di mana proporsi dari sampel, misalnya proporsi A dan B ialah m/n, maka muncul pengetahuan dugaan bahwa populasi juga berstruktur m/n. Hal ini biasa dilakukan dala epistemology tradisional, di mana dari induksi lalu disimpulkan secara deduktif suatu pengetahuan. Namun dalam epistemology mutakhir, Goodman lebih menekankan kelemahan induksi dalam membuat suatu ramalan (problem of projectibility). Jumlah sampel yang terbatas serta proporsi di dalamnya membuat suatu induksi tidak bisa digunakan untuk peramalan secara tepat. Di samping itu, pengambilan sampel memungkinkan suatu bias dari pengetahuan yang didasarkan pada induksi.



3.      Beberapa Teori-teori Pengetahuan
Dalam membahas tentang teori pengetahuan, idealisme mengemukakan pandangannya, bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui indra tidak pasti dan tidak lengkap, karena dunia hanyalah merupakan tiruan belaka, sifatnya maya, yang menyimpang dari kenyataan sebenarnya. Pengetahuan yang benar hanya merupakan hasl akal belaka, karena akal bisa membedakan bentuk spiritual murni dari benda-benda di luar penjelmaan material. Demikian menurut Plato, idealisme metafisika percaya, bahwa manusia dapat pengetahuan tentang realitas, karena realitas pada hakikatnya spiritual, sedangkan jiwa manusia merupakan bagian dari substansi spiritual tersebut.
Hegel menguraikan konsep plato tentang teori pengetahuan dengan mengatakan, bahwa pengetahuan dikatakan valid, sepanjang sistematis maka pengetahuan manusia tentang realitas adalah benar dalam arti sistematis. Dalam teori pengetahuan dan kebenaran, idealisme merujuk pada rasionalisme dan teori keherensi. Teori koherensi didasari oleh pendapat bahwa item-item partikular pengetahuan menjadi signifikan apabila dilihat dari konteks keseluruhan. Oleh karena itu, semua ide dan teori harus divalidasi sehubungan dengan koherensinya (kesesuaiannya) dalam pengembangan sistem pengetahuan yang tidak ada sebelumnya.
Pollock dan Cruz mengembangkan sendiri tipologi teori-teori pengetahuan menurut teori doxastic, nondoxastic, internal dan eksternal.[7]
1.      Teori Doxastic (Doxastic Theories)
Teori-teori doxastic merujuk kepada epistemologi tradisional, sekaligus ditolak oleh Pollock dan Cruz. Dalam ranah doxastic ini, justifikasi pengetahuan-yang-dipercaya merupakan fungsi dari pengetahuan orang itu sendiri, jadi tidak memandang adanya variabel dari luar diri (suatu keadaan doxastic/doxastic state). Diasumsikan (asumsi doxastic), jika dua orang memegang pengetahuan yang sama tetapi dalam pengaruh lingkungan yang berbeda, tetap tidak ada perbedaan kepercayaan terhadap pengetahuan di antara keduanya. Dari dasar asumsi inilah semua pengetahuan kita tentang dunia dikumpulkan dalam suatu kepercayaan. Selanjutnya keputusan untuk mengambil pengetahuan-yang-benar tertentu tergantung dari kepercayaan tadi. Sebagaimana di kemukakan di atas, suatu pembuktian dalam ranah teori ini membutuhkan pembuktian dari dalam diri sendiri.

2.      Teori Nondoxastic (Nondoxastic Theories)
Teori ini memandang penting hal lain diluar kepercayaan merupakan fungsi dari kepercayaan sebelumnya, nondoxastic theoris juga memandang penting hal lain di luar kepercayaan itu sendiri. Dengan demikian suatu kesimpulan dipandang benar tidak sekedar berbasiskan pengetahuan diri, tetapi dengan mempertimbangkan juga pikiran lainnya. Dengan asas defeaseble, suatu pengetahuan yang benar pada suatu lingkungan tertentu mungkin dapat salah pada lingkungan yang berbeda.

3.      Teori Internal (Internalism Theories)
Teori internal merujuk kepada jenis pengetahuan yang diperoleh dari agen di dalam diri manusia. Kemampuan melakukan justifikasi terhadap pengetahuan yang dipercaya seharusnya merupakan fungsi aparat internal. Selanjutnya perkembangan pengetahuan ditentukan oleh kemampuan akses internal secara sadar untuk menghubungkan antar kepercayaan yang sudah ada tadi. Untuk menjadikan pengetahuan internal sebagai basis pengambilan keputusan rasional, diperlukan jawaban atas pertanyaan, apakah kepercayaan terhadap pengetahuan ini sudah muncul dengan sendirinya atau di awal sang diri itu tumbuh? Pertanyaan lainnya, apakah pengetahuan kemudian berkelanjutan menurut proses mengetahui secara benar?
Jelaslah bahwa teori-teori pengetahuan internalis ini tertuju pada, bagaimana menghilangkan kepercayaan yang salah dan mengambil kepercayaan yang benar. Namun dengan pola internalis, yang mengambil premis dan kesimpulan dari dalam diri sendiri, muncullah problem cognitive essentialisme (esensialisme kognitif). Dalam kaidah ini epistemologi secara benar sudah cukup untuk proses mengetahui, dan tidak tergantung dari entitas lain, misalnya reliabilitas proses. Pollock dan Cruz menentang esensialisme kognitif, namun masih mempercayai kemampuan diri untuk melakukan refleksi dan inferensi. Dengan terus mengolah informasi-informasi baru yang dipersepsi secara selektif dan disusun menurut penjelasannya yang rasional, mereka percaya suatu pengetahuan yang dipercaya benar akan diperoleh.

4.      Externalisme (Externalism Theories)
Adapun dalam pandangan eksternalisme, sebagaimana terefleksi dalam pandangan Pollock dan Cruz di atas, esensialisme kognitif juga ditolak. Sedangkan internalisme secara umum dipandang tidak lengkap, melainkan memerlukan pengetahuan dari luar. Secara tegas eksternalisme memandang, bahwa proses memperoleh pengetahuan dapat benar pada suatu lingkungan tertentu, tetapi dapat menjadi salah pada lingkungan lainnya. Di sini entitas di luar diri menjadi penting dalam proses mencari kepercayaan yang benar.
























KEBENARAN

Pengertian Kebenaran
            Selama ada kebudayaan yang tumbuh, berkembang dan lenyap di dalam sejarah umat manusia, selama itu pula nilai kebenaran menjadi thema utama penyelidikan manusia. Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rokhaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tak mungkin lepas dari kebenaran.
            Seorang yang tidak berpendidikan, buta huruf dan relatif “bodoh”, menangkap kebenaran terutama menurut panca inderanya. Demikian pula seorang anak yang belum dewasa, mengerti kebenaran semata-mata menurut ukuran pengalaman indera. Kebenaran bagi mereka ini bersifat sederhana dan lahiriah. Akan tetapi seorang yang berpendidikan tinggi maka kebenaran terutama diukur dengan ilmu pengetahuan atau rasio. Inilah kebenaran Ilmiah, kebenaran yang dipandang objektif, tatapi jika dianalisa lebih lanjut tidak seluruhnya kebenaran ilmiah itu objektif.
            Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah mencapai kebenaran. Problematik mengenai kebenaran, seperti halnya problematik tentang pengetahuan, merupakan masalah-masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu. Apabila orang memberikan prioritas kepada peranan pengetahuan, dan apabila orang percaya bahwa dengan pengetahuan itu manusia akan menemukan kebenararan dan kepastian, maka mau tidak mau orang harus berani menghadapi pernyataan tersebut, sebagai hal yang mendasar dan hal yang mendasari sikap dan wawasannya.
            Dalam Kamus Umum bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadarminta ditemukan arti kebenaran, yakni1. Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya); misal, kebenaran berita ini masih saya sangsikan; kita harus berani membela kebenaran dan keadilan. 2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya); misal, kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama. 3. Kejujuran; kelurusan hati; misal, tidak ada seorangpun yang sangsi akan kebenaran dan kebaikan hatimu. 4. Selalu izin; perkenanan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan. 5. Jalan kebetulan; misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan kebenaran saja.[8]



Jenis-jenis Kebenaran
Telaah dalam filsafat ilmu, membawa orang kepada kebenaran dibagi dalam tiga jenis. Menurut A.M.W. Pranarka (1987) tiga jenis kebenaran itu adalah:
1.      Kebenaran epistimologikal, yaitu pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia. Kadang-kadang disebut dengan istilah veritas cognitionis ataupun veritas logica.
2.      Kebenaran ontologikal, yaitu kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada atau diadakan. Apabila dihubungkan dengan kebenaran epistimologikal kadang-kadang disebut juga kebenaran sebagai sifat dasar ada di dalam objek pengetahuan itu sendiri.
3.      Kebenaran semantikal, yaitu kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran semantikal disebut juga kebenaran moral (veritas moralis) karena tutur kata dan bahasa itu mengkhianati atau tidak terhadap kebenaran epistimologikal atau pun kebenaran ontologikal, maka tergantung kepada manusianya yang mempunyai hak untuk menggunakan tutur kata atau pun bahasa itu.
Apabila kebenaran epistimologikal terletak di dalam adanya kemanunggalan yang sesuai serasi terpadu antara apa yang dinyatakan oleh proses cognitif intelektual manusia dengan apa yang sesungguhnya ada di dalam objek (yang disebut esse reale rei), apakah itu konkret atau abstrak, maka implikasinya adalah bahwa di dalam esse reale rei memang terkandungsuatu sifat intelligibilitas (dapat diketahui kebenarannya).
Hal intelligibilitas sebagai kodrat yang melekat di dalam objek, di dalam benda, barang, makhluk dan sebagainya sebagai objek potensial maupun riil dari pengetahuan cognitif intelektual manusia itulah yang disebut kebenaran ontological, yaitu sifat benar yang melekat di dalam objek.

Beberapa Teori Kebenaran
            Rumusan subtantif tentang apa itu kebenaran (truth), terdapat banyak teori. Michael Williams mengenalkan setidaknya 5 teori kebenaran, yaitu: kebenaran korespondensi, kebenaran koherensi, kebenaran pragmatig,  kebenaran performatif, kebenaran paradigmatik dan kebenaran proposisi.



1.      Teori Kebenaran Korespondensi
Kebenaran korespondesi adalah kebenaran yang bertumpu pada relitas objektif.[9] Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan kepastian indrawi. Sesuatu dianggap benar apabila yang diungkapkan (pendapat, kejadian, informasi) sesuai dengan fakta (kesan, ide-ide) di lapangan.[10]
Contohnya: ada seseorang yang mengatakan bahwa Provinsi Jawa Timur itu berada di Pulau Jawa. Pernyataan itu benar karena sesuai dengan kenyataan atau realita yang ada. Tidak mungkin Provinsi Jawa Timur di Pulau Kalimantan atau bahkan Papua.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut korespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
2.      Teori Kebenaran Koherensi
Teori ini disebut juga dengan konsistensi, karena mendasarkan diri pada kriteria konsistensi suatu argumentasi. Makin konsisten suatu ide atau pernyataan yang dikemukakan beberapa subjek maka semakin benarlah ide atau pernyataan tersebut. Paham koherensi tentang kebenaran biasanya dianut oleh para pendukung idealisme, seperti filusuf Britania F. H. Bradley (1846-1924).[11]
Teori ini menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat kejadian, atau informasi) akan diakui sahih atau dianggap benar apabila memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika.[12] Sederhannya, pernyataan itu dianggap benar jika sesuai (koheren/konsisten) dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contohnya:
a)      Sayyidina Ali adalah menantunya Rasulullah SAW. Pernyataan ini kita ketahui dan kita terima kebenarannya dari sirah nabawiyyah.
b)      Setiap manusia pasti akan mati. Soleh adalah seorang manusia. Jadi, Soleh pasti akan mati

3.      Teori Kebenaran Pragmatik/Pragmatisme
Artinya, suatu pernyataan itu benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.[13] Teori pragmatis ini pertama kali dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”.
Dari pengertian diatas, teori ini (teori Pragmatik) berbeda dengan teori koherensi dan korespondensi. Jika keduanya berhubungan dengan realita objektif, sedangkan pragmamtik berusaha menguji kebenaran suatu pernyataan dengan cara menguji melalui konsekuensi praktik dan pelaksanaannya.
Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima pengalaman pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari semua itu membawa akibat praktis yang bermanfaat.[14]
Contohnya: “apakah agama bisa memberikan manfaat bagi penganutnya?”. Kita dapat berkaca pada pengalaman diri dan pengalaman banyak orang bahwa agama memberi manfaat besar bagi kehidupan manusia setidaknya dalam lima hal yaitu:
a)      Agama mampu memenuhi sense of religion.
b)      Agama mampu menjawab masalah-masalah yang ada pada psikologi manusia.
c)      Agama mampu menghadirkan ketenangan, kebahagiaan, kedamaian dan keteraturan dalam hidup.
d)     Agama munjadikan pemeluknya memiliki makna dan tujuan hidup.
e)      Agama mampu menjawab sekian banyak rasa ingin tahu manusia, misalnya tentang hal-hal ghaib.
4.       Teori Kebenaran Performatik
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya. Namun, disamping itu juga masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas.
Contohnya; mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian umat muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.
5.      Teori Kebenaran Struktural Paradigmatik
Suatu teori itu dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma.
Dengan kekuatan paradigma dan masyarakat sains pendukungnya, diharapkan kebenaran struktural paradigmatik dapat menjawab berbagai problema kehidupan manusia di masa depan. Krisis global berupa krisis lingkungan dan krisis kemanusiaan yang selama ini telah dialami oleh manusia karena Sains Modern, cepat atau lambat akan dijawab oleh konsensus baru dengan paradigma yang menghasilkan metode yang lebih tepat dalam mengantisipasi krisis global tersebut.
6.      Teori Kebenaran Proposisi
Sesuatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Dalam logika proposisi yang lain, proposisi benar tidak dilihat pada benar formalnya, melainkan dilihat pada benar materiilnya. [15]
Contohnya: logika matematik sederhana : ½ a = ½ b; sehingga a = b. Matematik teoritik simbolik logika tersebut benar. Kita tahu bahwa ½ gelas isi kalau dilukis akan memiliki gambar yang sama dengan ½ gelas kosong, sesuai dengan logika matematik simbolik teoritik tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa isi sama dengan kosong. Bentuk formilnya susdah benar tetapi materiinya salah.
Proposisi tidak lain adalah suatu pernyataan yang berisi banyak kompleks. Pernyataan itu merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Persyaratan benarnya proposisi dapat kita dasarkan pada model logika Aristoteles yang mendasarkan pada syarat formal yang deduktif sedangkan model logika tradisional kuno lainnya adalah matematik deduktif materiil kategorik dari Euclides. Disebut logika materiil, karena kebenaran dibuktikan atas bukti materiil. Konstruk proposisinya menggunakan berfikir sistematisasi deduktif dengan aksioma dan theoreem.































Justifikasi

Pengertian Justifikasi
Justifikasi adalah alasan kenapa seseorang memiliki suatu keyakinan, sebuah penjelasan mengenai kenapa sebuah keyakinan adalah benar, atau bagaimana seseorang tahu apa yang diketahuinya. Pembenaran juga berarti melakukan pertanggungjawaban rasional atas klaim kebenaran kepercayaan atau pendapat yang dipegang
Banyak hal yang bisa dijustifikasi, diantaranya : keyakinan, tindakan, emosi, klaim, aturan, teori-teori dan lain-lain. Secara epistemologi justifikasi mengacu pada keyekinan. Hal ini sebab pengaruh dari suatu definisi pengetahuan yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah kepercayaan yang benar yang dijustifikasi, yang sering kali di asosiasikan dengan sebuah teori yang didiskusikan oleh socrates dalam dialog nya “Theaetetus”. Secara umum, teori-teori justifikasi berfokus kepada pen justifikasian terhadap setatemen atau proposisi.[16]
Pada teori paling awal mengenai pengetahuan bahwa pengetahuan adalah “justified true belief” atau bisa diterjemahkan secara bebas  kepercayaan yang benar dan  terjustifikasi yang di promosikan oleh Plato yang mana teori ini kemudian mendapat kritik dari Gettier pada tahun 1963. Pengertian yang diusung oleh plato masih dianggap bukanlah suatu pengetahuan, sebagaimana ditulis oleh Keith Lehrer bahwa syarat-syarat ini masih belum cukup, dan perlu diadakan penambahan kriteria karena penjelasan tersebut masih irasional.[17]
contoh kasus yang diutarakan oleh Edmund Gettier adalah diantaranya sebagai berikut. Contoh kasus 1 : Smith mengajukan lamaran kerja, tetapi dia menjustifikasi yakin bahwa Jon lah yang akan mendapatkan pekerjaan. Smith juga yakin bahwa Jon memiliki 10 coin di saku nya. Kemudian smith membuat kesimpulan bahwa orang yang akan mendapatkan pekerjaan memiliki 10 koin disakunya. Pada kenyataannya, Jon tidak mendapat pekerjaan. Akan tetapi, justru Smith yang mendapatkan pekerjaan. Namun ternyata Smith juga memiliki 10 koin di sakunya. Jadi kepercayaan Smith bahwa orang yang mendapat pekerjaan adalah orang yang memiliki 10 koin disakunya terjustifikasi  dan benar. Akan tetapi bukanlah suatu pengetahuan.[18]

Beberapa Teori  Justifikasi
1.      Fondasionalisme
Fondasionalisme adalah teori pembenaran yang menyatakan bahwa suatu klaim kebenaran pengetahuan untuk dapat dipertanggungjawabkan secara rasional perlu didasarkan atas suatu fondasi atau basis yang kokoh, yang jelas dengan sendirinya, tak dapat diragukan kebenarannya dan tak memerlukan koreksi lebih lanjut.
2.      Koherentisme
Menurut teori ini, semua kepercayaan mempunyai kedudukan empirik yang sama, sehingga tidak perlu ada pembedaan antarkepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan sebagaimana dibuat fondasionalisme. Jadi suatu kepdengan sendirinya suatu kepercayaan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya kalau kepercayaan itu koheren atau konsisten dengan keseluruhan sistem kepercayaan yang selama ini diterima kebenarannya.[19]
3.      Internalisme
Internalisme adalah pandangan bahwa orang selalu dapat menentukan dengan melakukan introspeksi diri apakah kepercayaan atau pendapatnya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara rasional atau tidak. Motivasi yang mendorong orang untuk menganut aliran internalisme adalah bahwa manusia sebagai makhluk rasional secara prima facie mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan secara apa yang ia percayai atau apa yang menjadi pendapatnya.
4.      Eksternalisme
Berlawanan dengan para internalis, kaum eksternalis lebih menekankan proses penyebaban dari faktor-faktor eksternal seperti dapat dapat diandalkan tidaknya proses pemerolehan pengetahuan yang terjadi, berfungsi tidaknya secara normal dan semestinya sarana-sarana wajar kita untuk mengetahui. Demikian juga lingkungan, sejarah dan konteks sosial yang mempengaruhi proses pemerolehan pengetahuan menjadi bagian dari faktor penentu dibenarkan tidaknya suatu kepercayaan atau pendapat.[20]
Justifikasi Epistemik
Pertama, sebuah pengetahuan membutuhkan justifikasi epistemik, meskipun begitu disana ada juga justifikasi-justifikasi yang tidak epistemik. Sebagai contoh ketika seorang pmukul bola kasti kemungkinan besar bisa memukul bola jika dia yakin bahwa dia bisa memukul bola. Tentu saja dia mungkin saja tidak berhasil memukul bola, akan tetapi memiliki keyakinan semacam ini akan berdampak baik bagi sang pemukul tersebut. Dengan begitu bisa disebut hal itu adalah justifikasi praktis atas keyakinannya meskipun hal ini tidak bisa disebut justifikasi epistemik.[21]
Epistemik sendiri dari bahasa yunani episteme yang berarti “pengetahuan, pemahaman”. Yang mana menurut plato bahwa pengetahuan adalah sebuah kepercayaan yang benar yang dapat dijelaskan dengan baik. Menurut teori bahwa pengetahuan adalah sebuah kepercayaan yang benar dan terjustifikasi, bahwa seseorang agar tahu bahwa proposisi itu benar maka seseorang tidak hanya harus percaya bahwa proposisi-proposisinya benar, akan tetapi dia juga harus memiliki alasan-alasan yang kuat untuk keyakinannya itu.[22]
Ketika seseorang mengalami sakit dan yang sangat membahayakan, yang mana banyak orang meninggal karena penyakit ini. Meskipun bukti bahwa orang-orang tidak bisa sembuh dari penyakit semacam ini, akan tetapi sebuah keyakinan bahwa orang ini bisa sembuh adalah suatu hal positif yang bisa meningkatkan kesempatan orang itu. Dalam hal semacam ini orang ini memiliki justifikasi kehati-hatian atau moral yang menyebabkannya memiliki keyakinan bahwa dia akan sembuh meskipun tidak ada justifikasi epistemik mengenai hal itu.
Tidak seperti justifikasi moral dan kehati-hatian, justifikasi epistemik memiliki ikatan yang erat dengan dengan jalan menuju kebenaran. Meskipun susah untuk digambarkan bagaimana jalan yang seperti apakah yang bisa menghubungkan kepada kebenaran. Mungkin secara dangkal bisa dikatakan bahwa justifikasi epistemik mencapai suatu kebenaran dengan cara yang sama sekali berbeda dengan cara-cara justifikasi moral dan kehati-hatian. Dengan kata lain ketika seseorang menjustifikasi sebuah kepercayaan atas suatu proposisi maka kepercayaan seseorang itu bisa dikatakan benar.
Kedua, sebuah proposisi bisa saja benar akan tetapi tidak di justifikasi. Sebuah contoh bahwa (i) jumlah bintang-bintang dilangit itu selalu sama, dan (ii) jumlah bintang dilangit itu tidak sama. Kedua hal ini (i) dan (ii) adalah sama-sama benar, akan tetapi kita tidak bisa menjustifikasi nya. Karena kita tidak memiliki bukti akan hal itu.
Ketiga, sebuah kebenaran bisa saja dijustifikasi akan tetapi tidak benar. Misalnya anda menjustifikasi bahwa sekarang adalah tengah hari (noon), anda menjustifikasi seperti ini karena anda melihat jam tangan dan jam itu menunjukkan bahwa sekarang adalah tengah hari. Akan tetapi tanpa anda ketahui bahwa jam anda berhenti saat tengah hari, dan kenyataannya sekarang adalah jam 12:30. Sebuah contoh lain A yakin bahwa dia melihat seeorang yang didepan kelas adalah Lisa. A menjustifikasi begitu karena dia melihat seseorang yang dia lihat itu persis, berbaju dan bertingkah laku seperti Lisa. Tanpa dia ketahui bahwa Lisa memiliki saudari kembar identik dan yang dilihat si A bukanlah Lisa. Jadi keyakinannya salah, akan tetapi terjustifikasi.
Keempat, justifikasi itu relatif. Karena suatu proposisi bisa di justifikasikan pada seseorang akan tetapi tidak bisa kepada orang lain. Contoh, A adalah seorang pencuri, dan proposisi bahwa A adalah pencuri mungkin dijustifikasikan hanya kepada A, dan tidak kepada yang lain. Lebih jauh lagi bahwa suatu proposisi bisa dijustifikasikan pada seseorang, pada suatu waktu akan tetapi tidak pada waktu yang lain.  Contoh : teman-teman A menjustifikasi kepercayaan mereka bahwa A bukan pencuri, akan tetapi setelah dipelajari dan dilihat bukti-bukti lebih lanjut kini mereka memiliki justifikasi keyakinan bahwa A adalah pencuri.
Kelima, justifikasi epistemik memiliki tingkatan. Sebuah justifikasi muncul pada tingkatan yang pasti atau maksimal, atas sebuah proposisi yang di justifikasi, dan masuk akal. Sebuah proposisi bahwa 2=2, bahwa saya berpikir, bahwa saya ada, adalah hal yang pasti. Sebaliknya sebuah proposisi bahwa saya masih hidup tiga bulan lagi adalah sesuatu yang tidak pasti atau tidak maksimal terjustifikasi bagi saya. Hal itu bukan suatu keyakinan yang pasti karena proposisi bahwa saya hidup sekarang lebih terjustifikasi bagi saya dari pada hal tadi.[23]
PENUTUP
Kesimpulan
Pengetahuan pada awalnya diartikan sebagai “Justified True Belief” yang mana hal ini melahirkan kritik dan memunculkan teori-teori yang sangat beragam. Semua proses dan kritik itu dilakukan untuk mencapai suatu kebenaran. Karena pada hakekatnya manusia ingin mencari tahu segala hal yang ada disekelilingnya yang kemudian dengan melalui proses yang panjang menuju kepada sistematika pengetahuan yang teratur, yang pada ujungnya pengetahuan manusia menghendaki pengetahuan yang tidak hanya suatu pengetahuan saja, akan tetapi lebih jauh lagi bahwa pengetahuan yang mereka miliki itu adalah benar.
Selama ada kebudayaan yang tumbuh, berkembang dan lenyap di dalam sejarah umat manusia, selama itu pula nilai kebenaran menjadi tema utama penyelidikan manusia. Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rokhaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tak mungkin lepas dari kebenaran.  Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah mencapai kebenaran. Problematik mengenai kebenaran, seperti halnya problematik tentang pengetahuan, merupakan masalah-masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu. Apabila orang memberikan prioritas kepada peranan pengetahuan, dan apabila orang percaya bahwa dengan pengetahuan itu manusia akan menemukan kebenararan dan kepastian, maka mau tidak mau orang harus berani menghadapi pernyataan tersebut, sebagai hal yang mendasar dan hal yang mendasari sikap dan wawasannya.
Usaha manusia untuk mengetahui kebenaran pengetahuan pada gilirannya membuahkan sebuah pertanyaan bagaimana seseorang bisa memiliki suatu keyakinan, sebuah penjelasan mengenai kenapa sebuah keyakinan adalah benar, atau bagaimana seseorang tahu apa yang diketahuinya. Hal ini adalah tugas justifikasi, ada banyak hal yang bisa dijustifikasi, diantaranya : keyakinan, tindakan, emosi, klaim, aturan, teori-teori dan lain-lain. Secara epistemologi justifikasi mengacu pada keyakinan.
Segala usaha diatas dilakukan manusia untuk menemukan kebenaran, sebagaimana kita ketahui bahwa pengetahuan manusia senantiasa berkembang maka hal-hal tersebut dalam makalah kami akan terus mengalami perkembangan juga. Selain daripada itu kami sebagai pemakalah merasa bahwa tulisan kami ini masih memiliki banyak kekurangan, maka dari itu masukan serta saran dari para pembaca pastinya akan sangat bermanfaat bagi kami.



DAFTAR PUSTAKA


Adib, Muhammad. “FILSAFAT ILMU: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan”. Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2010.
Ahmad, Beni Saebani. “FILSAFAT ILMU: Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan”. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Artemov, Sergei. Draft “Justification Logic: when Justified True Belief is Knowledge”. Diakses di: artemov@gc.cuny.edu pada: 7 oktober 2012, jam: 19:30 WIB.
Bagus, Loren. “Kamus filsafat”. Jakarta: Gramedia, 1996.
Edwards, Paul. “ The Encyclopedia of Philosophy Vol. 3”. New York: Macmillan Publishing,
Gazalba , Sidi, “Sistematika Filsafat”. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Kattsoff, Louis O. “Pengantar Filsafat”. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Lehrer, Keith and Thomas Paxson. “The Journal of Philosophy”. 1969.
Lemos, Noah. “An Introduction to the Theory of Knowledge”. Cambridge: Cambridge University Press, 2007.
Pollock , John L. and Joseph Cruz. “Contemporary Theories of Knowledge”. Arizona:
        Rowman & Littlefield publishers
Sudarminta, J. “Epistemologi Dasar”. Yogyakarta: Kanisius 2002.
Suhartono, Suparlan. “Filsafat Ilmu Pengetahuan”. Jogjakarta: Ar-Ruzz Madia, 2008.
Supriyanto,S. “Filsafat Ilmu”. Surabaya: Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat
        Universitas Airlangga, 2003.
Surajiyo. “Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia”. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2010
Suriasumantri, Jujun S. “FILSAFAT ILMU: Sebuah Pengantar Populer”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007
http://en.wikipedia.org/wiki/Theory_of_justification, diakses pada: 10 oktober 2012, jam 23:30 WIB







[1] Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, (New York: Macmillan Publishing, 1972), Vol. 3.
[2] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), cet. 1, 4.
[3] Loren Bagus, Kamus filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), cet. 1, 803.
[4] Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Madia, 2008), 48.
[5] S. Supriyanto, Filsafat Ilmu, (Surabaya: Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, 2003)
[6] John L. Pollock and Joseph Cruz, Contemporary Theories of Knowledge, (Arizona: Rowman & Littlefield publishers), 15-22.
[7] John L. Pollock and Joseph Cruz, Contemporary Theories of Knowledge, (Arizona: Rowman & Littlefield publishers), 23-27.
[8] Drs. Surajiyo, “Filsafat Ilmu dan Pengembangannya di Indonesia”, hal: 102
[9] Drs. Beni Ahmad Saebani. “Filsafat Ilmu: Kontemplasi filosofis tentang seluk beluk sumber dan tujuan ilmu pengetahuan”. hal: 7
[10] Drs. H. Moh. Adib. “Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan”. hal:122

[11] Louis O. Kattsoff. “PENGANTAR FILSAFAT” hal: 176
[12] Drs. H. Moh. Adib. “Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan”. hal:121
[13] Jujun S. Suriasumantri. “Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer”.  Hal: 59
[14] Drs. Beni Ahmad Saebani. “Filsafat Ilmu: Kontemplasi filosofis tentang seluk beluk sumber dan tujuan ilmu pengetahuan”. hal: 7

[15] Prof. Dr. H.Noeng Muadjir, “FILSAFAT ILMU Positivisme, PostPositivisme, PostModernisme”, hal: 17
[16] http://en.wikipedia.org/wiki/Theory_of_justification. Lihat juga J.Sudarminta, “Epistemologi Dasar”, hal: 153.
[17] Keith Lehrer and Thomas Paxson, “The Journal of Philosophy”. Hal:225
[18] Sergei Artemov,  an abstract “Justification Logic: when Justified True Belief is Knowledge. Lihat juga Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?””. From analysis. Vol. 23. Diakses dari : http://philosophyfaculty.ucsd.edu/faculty/rarneson/courses/gettierphilreading.pdf
[19] J. Sudarminta, “Epistemologi Dasar”.Hal:154

[20] J. Sudarminta, “Epistemologi Dasar”.Hal:154
[21] Noah Lemos. “An Introduction to the Theory of Knowledge”.hal:13
[22] PONOROGOBLOG.wordpress.com. diakses pada 08-okteber-2012. Jam 21:00 WIB.
[23] Op cit, Hal: 15

2 komentar:

HABSIM mengatakan...

IZIN copy bos,,tambahan refrensi..moga berkah.amin..tks!

Ylamae Store mengatakan...

izin copass, terimakasihh